TEMPO.CO, Timika - Kisruh antara PT Freeport Indonesia, unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc, dengan pemerintah Indonesia kini mulai berdampak pada penurunan jumlah penumpang maskapai PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) yang terbang dari dan menuju Timika.
General Manajer PT Garuda Indonesia Kantor Cabang Timika, Agung Anugerah, mengatakan, penurunan jumlah penumpang mulai dirasakan semenjak awal Februari ini saat Freeport tidak lagi mengekspor konsentrat serta menghentikan produksinya.
"Sekarang memang lagi musim 'low session'. Namun penurunan jumlah penumpang ini juga tidak lepas dari permasalahan yang terjadi di Freeport. Selama ini tiket karyawan yang menggunakan penerbangan Garuda Indonesia dipesan oleh perusahaan tempat mereka bekerja," ujar Agung, di Timika, Rabu, 23 Februari 2017.
Baca : Kronologi Kontrak dan Eksploitasi Tambang Freeport di Papua
Dia tidak menyebut secara rinci berapa persen penurunan jumlah penumpang maskapai Garuda Indonesia dari Timika ke berbagai rute itu maupun sebaliknya.
Baca Juga:
Namun Agung memastikan jika situasi krisis di Freeport terus berlanjut maka hal itu akan berdampak cukup besar terhadap tingkat keterisian penumpang pesawat Garuda Indonesia dari Timika ke berbagai rute maupun sebaliknya.
"Kami tetap memberikan pelayanan seperti biasa. Sampai sekarang belum ada perubahan jadwal penerbangan pesawat Garuda tujuan Timika maupun ke luar Timika," kata Agung.
Baca : Menkeu: Kalau Freeport Berhenti, Jatuh Sahamnya
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia kini mengoperasikan pesawat Boeing 737 seri 800 untuk melayani rute penerbangan dari Jakarta-Denpasar-Timika-Jayapura (PP) setiap hari dan rute Jakarta-Makassar-Timika-Jayapura (PP) setiap hari.
Maskapai penerbangan milik pemerintah itu juga melayani rute penerbangan Timika-Sorong-Manado (PP) tiga kali sepekan dan rute Biak-Nabire-Timika (PP) tiga kali sepekan.
Freeport mengklaim telah berhenti ekspor konsentrat sejak 12 Januari 2017 lalu. Pada 11 Januari 2017 lalu Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara atau biasa disingkat PP Minerba.
Baca : Kasus Freeport, Sri Mulyani: Semua Demi Penerimaan Negara
PP ini menegaskan perusahaan pemegang KK harus memurnikan mineral di Indonesia. Jika tidak membangun smelter maka dilarang ekspor. Kemudian jika ingin tetap ekspor harus mengubah statusnya dari KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Dengan menjadi IUPK, maka Freeport juga berkewajiban melepas 51 persen sahamnya kepada Indonesia tahun ini.
Perusahaan pada Senin 20 Februari lalu mengumumkan akan menggugat pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional. Perusahaan yang memiliki tambang emas dan tembaga Grasberg, di Papua tersebut enggan mengikuti permintaan pemerintah agar beralih status dari KK menjadi IUPK.
ANTARA | ABDUL MALIK
Video Terkait: