TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai kecil kemungkinan Freeport akan menerapkan ancaman yang sudah ditebar kepada pemerintah Indonesia.
"Ancaman Freeport itu belum tentu benar-benar dilaksanakan," kata Fahmy dalam siaran tertulis, Kamis, 23 Februari 2017.
Fahmy mengatakan unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc itu, akan menghitung cost and benefit dalam menerapkan ancamannya.
Baca juga: Sri Mulyani: Sikap Freeport Merugikan Diri Sendiri
Salah satu perhitungan Freeport, ujar dia, ialah semakin merosotnya harga saham McMoran Copper & Gold Inc di Bursa New York (FCX).
Baca Juga:
"Salah satu penyebab sentimen penurunan harga saham FCX adalah tidak adanya kepastian perpanjangan kontrak karya Freeport dari pemerintah Indonesia," ujarnya.
Fahmy mengungkapkan harga saham FCX dua tahun lalu masih bertengger sekitar US$ 62 per saham. Namun, harga sahamnya terpuruk pada perdagangan akhir Desember 2015 menjadi US$ 8,3 per saham. Pada Januari 2016, harga saham FCX turun lagi menjadi US$ 3,96 per saham.
Menurut Fahmy, penerapan ancaman Freeport itu dapat semakin memperburuk harga saham FCX. Bahkan, kata dia, tak menutup kemungkinan penurunan harga saham FCX yang berkelanjutan akan memicu kebangkrutan McMoran Coppers & Gold Inc.
"Tentu direksi dan pemegang saham tidak menghendaki kebangkrutan benar-benar menimpa McMoRan Copper & Gold Inc," kata dia.
Berdasarkan hitung-hitungan tersebut, Fahmy menyebut ancaman Freeport tak lebih dari sebuah gertakan sambal. Namun dia menyatakan gertakan itu tetap harus dilawan seluruh komponen bangsa Indonesia.
Selain itu, dia mengatakan tak ada alasan bagi pemerintah untuk gentar menghadapi ancaman Freeport selama pelarangan ekspor konsentrat berada pada peraturan perundangan yang berlaku. Sebab, ancaman tersebut dinilai sudah sangat berlebihan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan sebelumnya melarang ekspor konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri. Namun pemerintah memberikan jalan tengah dengan menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Minerba.
Peraturan pemerintah itu mewajibkan perusahaan pemegang kontrak karya (KK) mengolah dan memurnikan konsentrat di smelter dalam negeri, kecuali bersedia mengubah status kontrak dari KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Simak juga: Menkeu: Kalau Freeport Berhenti, Jatuh Sahamnya
Awalnya, Freeport menyetujui status IUPK, tapi belakangan menolak persyaratan terkait dengan divestasi 51 persen secara bertahap dalam 10 tahun. Juga sistem fiskal prevailing atau besaran pajak yang berubah seiring dengan berubahan peraturan pajak di Indonesia.
Menurut Fahmy, Freeport ngotot tetap menggunakan sistem fiskal naildown atau besaran pajak tetap seperti yang diterapkan sebelumnya dengan status KK. Karena itu, Freeport pun menebar ancaman akan memperkarakan pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional bila dalam 120 hari tuntutan mereka tak dipenuhi.
FRISKI RIANA
Video terkait: