TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sedang menyiapkan skema penerimaan negara. Persiapan itu menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang perubahan pelaksanaan izin tambang Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus atau IUPK.
“Bila diubah yang sesuai dengan UU Minerba yang baru, tentu menjaga agar penerimaan negara tetap bisa dipertahankan atau bahkan lebih baik sesuai dengan amanat Undang-Undang,” kata Sri Mulyani di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu, 22 Februari 2017.
Baca Juga:
Menurut Sri Mulyani, dalam berbagai kontrak karya yang dibuat sebelumnya, dimandatkan untuk dilakukan perubahan. Termasuk di dalamnya adalah berbagai macam pengaturan mengenai penerimaan negara. “Di dalam Undang-Undang itu diamanatkan bahwa apapun kontrak yang ditandatangani harus menjamin penerimaan negara lebih baik,” katanya.
Baca: Gerilya Freeport Setelah Temui Sri Mulyani dan Jonan
Sri Mulyani menambahkan pada dasarnya di pemerintahan, baik Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan telah berkoordinasi melihat satu sisi adanya perubahan Undang-Undang Minerba. Adapun pada UU Minerba yang baru memandatkan pemerintah mengatur kembali pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia. Spiritnya adalah Indonesia bisa memanfaatkan sektor pertambangan untuk generasi yang akan datang dari sisi kepentingan nasional.
Baca Juga:
“Apakah itu dari sisi kemampuan untuk menciptakan investasi, kesempatan kerja, ekspor, industri hilir, maupun juga dari sisi penerimaan negara apakah dalam bentuk pajak, PPh, PPN, roylati, PBB, itu semuanya bisa dituangkan di dalam UU yang sudah diundangkan dari tahun 2009,” kata dia.
Baca: Hadapi Tekanan Freeport, Menteri Jonan Tawarkan 3 Opsi
Kemarin, Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Heru Pambudi menuturkan, potensi penerimaan negara yang hilang dari Freeport bisa mencapai Rp 100 miliar per bulan. Adapun kontribusi penerimaan bea keluar dari Freeport pada tahun lalu mencapai Rp 1,23 triliun.
Dengan asumsi kuota ekspor tahun ini sama dengan tahun lalu, maka potensi penerimaan bea keluar dari perusahaan milik Amerika Serikat tersebut mencapai Rp 100 miliar setiap bulannya.
Adapun saat ini Kementerian Keuangan belum menyetujui mekanisme Kontrak Karya (KK) atau pajak tetap (nail down) yang diinginkan Freeport. Padahal seharusnya, pajak yang dibayarkan Freeport berubah menjadi dari waktu ke waktu (prevailing) sesuai dengan perubahan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Keingian Freeport tersebut menjadikan potensi penerimaan bea keluar berkurang.
Freeport memberi waktu pemerintah 120 hari untuk menyelesaikan perbedaan persepsi tersebut. Jika waktu yang ditentukan habis, maka pemerintah akan membawa permasalahan ini dalam lembaga arbitrase internasional.
DESTRIANITA