TEMPO.CO, Jakarta - Maskapai milik pemerintah, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), belum menentukan kelanjutan kerja sama dengan perusahaan produsen mesin pesawat dan mobil mewah Rolls-Royce Plc. Direktur Utama kedua perusahaan baru dijadwalkan bertemu pekan depan guna membahas kelanjutan kerja sama kedua perusahaan setelah sempat dihantam isu kasus suap yang mengemuka sejak Januari 2017.
Direktur Utama Garuda Arief Wibowo enggan menjelaskan secara rinci agenda dalam pertemuan pekan depan itu. Ia hanya mengatakan isu yang akan dibahas menyangkut strategi bisnis Garuda ke depan. "Ada macam-macam. Ada kelanjutan, ada kasus yang terakhir. Kami melakukan pembicaraan yang baik," katanya di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin, 13 Februari 2017.
Baca: Suap Mesin Garuda, Kenapa Rolls-Royce Tak Terjerat?
Hubungan bisnis Rolls-Royce dan Garuda Indonesia tercoreng setelah lembaga antikorupsi Inggris, Serious Fraud Office (SFO), pada Januari lalu mengeluarkan laporan mengenai dugaan suap Rolls-Royce kepada beberapa perusahaan di berbagai negara.
Di Indonesia, Rolls-Royce diduga menyuap mantan Dirut Garuda, Emirsyah Satar, agar membeli mesin pesawat di perusahaannya. Emirsyah diduga menerima uang sebesar 1,2 juta euro dan US$ 180 ribu atau sekitar Rp 20 miliar serta barang senilai US$ 2 juta.
Seperti dilansir Financial Times, Kamis, 19 Januari 2017, Pengadilan Tinggi London mengungkap sejumlah daftar korupsi yang dilakukan Rolls-Royce yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Satu per satu daftar dugaan korupsi dan suap itu diakui Rolls-Royce.
Pengakuan itu di antaranya termasuk penggunaan rekening palsu untuk menyembunyikan penggunaan jasa ilegal distributor lokal, mencoba menggagalkan penyelidikan korupsi, hingga membayar puluhan juta pound sterling sebagai uang suap untuk memenangi kontrak pengadaan mesin dan penawaran lain di Indonesia, Thailand, Cina, dan Rusia.
Baca: Ini Daftar Panjang Kasus Suap Rolls-Royce
Secara total, Rolls-Royce diperkirakan telah menuai keuntungan kotor lebih dari 250 juta pound sterling atau Rp 4,11 triliun dari daftar korupsi yang dilakukan. Sebagai bagian dari kesepakatan untuk menangguhkan penuntutan, Rolls-Royce akan membayar denda sejumlah 671 juta pound sterling atau Rp 11 triliun kepada pihak berwenang di Inggris, Amerika Serikat, dan Brasil.
Dugaan korupsi yang dilakukan Rolls-Royce sudah tercium sejak 1989 sampai 2013. Dimulai dari 1987 ketika pesanan terhadap perusahaan itu hanya Rp 46,08 triliun, kemudian meningkat menjadi hingga Rp 1.250 triliun pada tahun lalu. Keberhasilan perusahaan itu rupanya diwarnai dengan penyuapan kepada pejabat lokal dan eksekutif maskapai penerbangan di beberapa negara.
Baca: Rolls-Royce Cars Tak Mau Dikaitkan Kasus Suap Garuda
Secara keseluruhan, Rolls-Royce mengakui tujuh kasus korupsi dan lima kasus penyuapan sebagai bagian dari kesepakatan dengan otoritas Inggris untuk menangguhkan penuntutan. Salah satu contohnya ketika Rolls-Royce memasok mesin jet Trent 700 untuk Garuda Indonesia senilai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,3 triliun pada 1991. Kesepakatan itu merupakan sejarah bagi Rolls-Royce, karena perusahaan bisa membawa keberadaan mesin turbin barunya di pasar Asia-Pasifik yang bertumbuh.
Garuda sebelumnya akan memilih mesin pesawat produksi perusahaan Amerika Serikat, Pratt & Whitney, yang merupakan pesaing Rolls-Royce. Namun rencana itu akhirnya ditolak pemerintah karena lebih memilih mesin produksi Rolls-Royce. Kasus suap di Indonesia ada dalam daftar pertama yang disangkakan SFO. Lembaga ini pun telah mengungkap bukti-bukti korupsi Rolls-Royce pada 1989-1998.
VINDRY FLORENTIN | ABDUL MALIK