TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah penumpang kapal yang terus menurun memaksa manajemen PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni untuk bermanuver. Perusahaan pelayaran pelat merah ini mulai mengandalkan lini bisnis lain, seperti angkutan wisata dan logistik.
Direktur Utama Pelni Elfien Guntoro menyatakan saat ini sudah bukan zamannya lagi bagi Pelni untuk mengandalkan bisnis jasa angkutan penumpang, yang tahun lalu turun 7 persen dibanding pada 2015. “Habis sih enggak, tapi pelan-pelan pendapatan dari penumpang menurun,” kata Elfien kepada wartawan Tempo, Khairul Anam, di kantornya, akhir Januari lalu.
Elfien pun memaparkan sederet rencana bisnis Pelni hingga masalah keterbatasan Angkutan Laut yang menyebabkan banyaknya kapal beroperasi di bawah standar keselamatan. Berikut ini petikan wawancaranya.
Seperti apa upaya Pelni memenuhi kebutuhan jasa pelayaran nasional, terutama pelayaran perintis di kawasan terpencil?
Rute pelayaran perintis di Indonesia ada 96, Pelni mengoperasikan 46 di antaranya dengan armada kapal negara. Namun itu belum cukup. Bayangkan, dari 1.240 pelabuhan laut, hanya ada 33 pelabuhan utama. Sisanya pelabuhan pengumpul kecil-kecil, dan itu harus terhubung.
Apakah pelayaran di rute perintis itu menguntungkan?
Tidak akan bisa komersial. Misalnya ke Tahuna, cuma ada lima atau tujuh orang yang naik, bisa untung enggak? Apalagi setiap rute baru ada kapal dua minggu sekali. Indonesia ini terlalu gede.
Lalu bagaimana rencana bisnis Pelni, yang harus mengoperasikan pelayaran perintis dan kini menghadapi tren penurunan penumpang?
Kami mencoba mengubah pola pikir bahwa naik kapal bukan sekadar transportasi, tapi juga sebagai lifestyle business. Wisata di atas kapal, rapat di atas kapal, pelatihan di atas kapal, itu nilai tambahnya besar. Karena itu, kami mencoba masuk ke bisnis pariwisata. Walaupun sekarang masih kecil, pariwisata adalah bisnis masa depan kami. Kalau kami tidak masuk, siapa lagi pemain lokal untuk wisata bahari di sini? Indonesia dua pertiga wilayahnya lautan dan punya banyak tempat wisata. Jangan sampai bisnis kapal pesiar dikuasai pemain asing. Selain wisata, kami mengoptimalkan pelayaran barang dengan jalan tol laut. Kami kembali seperti dulu, besar dengan layanan angkutan barang. Dulu Pelni pernah punya 50 kapal barang, tapi oleh pemerintah lebih banyak ditugaskan mengangkut penumpang.
Berapa besar paket wisata yang sudah dilayani Pelni?
Kami baru memanfaatkan kapal yang sedang istirahat di pelabuhan. Contohnya pada malam tahun baru 2017. Ada satu kapal istirahat di Tanjung Priok selama dua hari, kami pakai buat wisata ke Pulau Edam, Kepulauan Seribu. Saat itu kami hanya buka untuk 100 orang, ternyata peminatnya 326 orang. Banyak yang enggak kebagian marah-marah. Besoknya, kapal itu langsung berangkat lagi untuk membawa penumpang reguler.
Dengan jadwal yang padat, apakah armada Pelni mampu melayani pelayaran wisata?
Satu kapal kami menempuh 24 kali perjalanan (voyage) dalam satu rute per tahun. Sedangkan kami meneken kontrak dengan pemerintah untuk 23 voyage. Sisa satu voyage kami pakai untuk paket wisata ke Wakatobi, Labuan Bajo, Raja Ampat, dan lain-lain. Ibaratnya, kami baru latihan. Sekarang ada 12 pegawai kami ikutkan pelatihan naik kapal pesiar ke Singapura.
Pelni belum punya dana untuk membeli kapal pesiar sendiri?
Tahun ini kami bekerja sama dengan perusahaan pelat merah lain untuk membeli kapal pesiar. Kami menjadi operatornya. Misalnya dengan Patra Jasa (anak usaha Pertamina) dan Garuda Inna (anak usaha Garuda Indonesia). Kami yang mengoperasikan kapalnya, Garuda Inna mengoperasikan hotel terapung, Patra Jasa yang membeli kapal.
Dengan strategi baru ini, apakah komposisi pendapatan Pelni bakal berubah?
Saat ini 70 persen dari pendapatan Pelni disumbang oleh bisnis pelayaran penumpang. Namun, pelan-pelan, pendapatan dari penumpang pasti akan menurun. Sebaliknya, pendapatan dari angkutan barang terus naik. Tahun lalu saja, pendapatan dari jasa angkut penumpang turun 7 persen, barang naik 8 persen. Pada 2013, kami masih rugi Rp 634 miliar; tahun 2014 mulai untung Rp 11,2 miliar; dan tahun lalu sudah untung Rp 195 miliar (prognosis). (Selengkapnya baca Koran Tempo, edisi Senin 13 Februari 2017).