TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia Bidang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Yana Mulyana mendukung rencana pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah serta penerapan pajak progresif dalam rangka mengganjal spekulan. Calo dianggap Yana sebagai biang keladi mahalnya harga tanah di kota-kota besar.
Baca : Ini Kriteria Tanah yang Dibidik Pajak Progresif
“Spekulan menguasai tanah secara sporadis. Sedangkan tanah bagi pengembang itu modal,” ujar Yana kepada Tempo, Kamis 9 Februari 2017.
Yana mengemukakan spekulan kerap membeli lahan di area konsesi. Menurut dia, luas lahan yang dikuasai spekulan tidak signifikan dibanding luas wilayah pengembang. Namun harga yang ditawarkan terlampau tinggi.
Baca : BPN: Pajak Progresif Lahan Tak Hambat Investasi
Beberapa pengembang besar terpaksa merogoh kocek lebih dalam demi kelancaran proyek. Adapun pengembang yang koceknya terbatas lebih memilih mengubah rencana pembangunan lantaran ogah menuruti permintaan calo.
Pembangunan juga bisa terhambat jika lahan yang dikuasai spekulan termasuk vital dalam rencana properti. Jalan keluarnya, pengembang mencoba melego harga. Proses inilah yang dianggap Yana kerap memakan waktu. “Spekulan kadang hanya punya 1 hektare. Tetapi harga jualnya berkali-kali lipat.”
Baca : Pengembang Protes Rencana Pajak Progresif Tanah
Anggota Asosiasi Real Estate Broker Indonesia, Ronny Wuisan, mengemukakan spekulan kerap menjual tanahnya sepuluh kali lipat dari harga pasar. Akibatnya, pengusaha menambah bujet pembebasan lahan sehingga berimbas ke harga jual.
Ronny berharap pemerintah tidak membebankan pajak progresif bagi pengembang properti. Aturan yang tidak tepat sasaran, menurut dia, bisa memukul mundur pertumbuhan bisnis properti yang melemah sejak 2015. “Kalau tujuannya mengejar spekulan yang setiap bulan beli tanah, jualnya sepuluh kali lipat, bolehlah,” ujar Ronny.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Maryono mengakui sulit menekan harga rumah lantaran ongkos pembebasan lahan yang mahal. Apalagi informasi pertanahan juga kurang terbuka. “Sehingga para makelar leluasa memainkan harga,” kata dia, kemarin.
ROBBY IRFANY | ANDI IBNU