TEMPO.CO, Jakarta - PT Waringin Agro Jaya diputus bersalah atas terjadinya kebakaran lahan dengan menggunakan pembuktian prinsip strict liability. Perusahaan tersebut diwajibkan melakukan pemulihan lahan 1.626,2 hektare serta ganti rugi materil Rp 173,46 miliar.
Ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Rinharyadi, dalam perkara 456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt.Sel, mengabulkan untuk sebagian gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Baca: Bersaing dengan Kota Dunia, Jakarta Harus Revitalisasi
Perkara ini diputus dengan menggunakan pembuktian prinsip strick liability atau bertanggung jawab mutlak. Pengadilan menghukum tergugat mengganti rugi materil Rp 173,46 miliar, serta menghukum tergugat untuk melakukan pemulihan lahan seluas 1626,2 hektare untuk dapat difungsikan kembali dengan nilai Rp 293 miliar.
Dalam putusannya, hakim menyatakan PT Waringin Agro Jaya terbukti tidak memasang menara pandang sesuai aturan, dan juga tidak memiliki early warning yang memadai. Meski begitu, hukuman untuk pemulihan lahan tidak sebesar yang diajukan KLHK. Dalam gugatan kementerian, perusahan diminta melakukan tindakan pemulihan terhadap lahan yang terbakar senilai Rp 584,9 miliar.
Baca: Cadangan Devisa Cina Anjlok, Ini Bahayanya
Majelis hakim menyebut terlalu berat bagi tergugat untuk menanggung semua pemulihan lingkungan, karena lahan yang terbakar masih produktif dan digunakan Waringin Agro.
“Keterangan saksi tergugat tidak bisa mematahkan dalil penggugat terkait kerusakan lingkungan. Dimana kebakaran hutan memang akibat manusia, bukan alam,” tutur Rinharyadi dalam persidangan, Selasa 7 Februari 2017.
Menanggapi putusan ini, huasa hukum PT Waringin Agro Jaya M. Sidik Latuconsina menganggap majelis hakim hanya mempertimbangkan dalil saksi ahli penggugat. Padahal, katanya, saksi ahli yang dihadirkan pihaknya juga memberikan data dan pernyataan yang objektif.
Baca: Siap IPO, Saudi Aramco Bidik Bursa Singapura
“Posisi majelis hakim saya pahami, karena ini sengketa lingkungan hidup. Dari hasil ini jelas kami akan banding,” tuturnya.
Sementara itu, kuasa hukum KLHK Dede Nurdin Sadat mengungkapkan bahwa meski tidak puas seluruhnya, tetapi putusan majelis hakim dianggap progresif.
Dia mengatakan permohonan yang tidak dikabulkan lebih pada perincian penggantian kerugian dan pemulihan lahan. Total nilai materil yang digugat oleh KLHK mencapai Rp758 miliar.
“Ada yang monumental dalam putusan kali ini, majelis hakim menggunakan prinsip stight liability, karena akan menjadi preseden yang baik untuk perkara lingkungan hiudp lainnya. Memang di undang-undang sudah ada, hanya saja masih jarang sekali ,” katanya.
Prinsip bertanggung jawab mutlak adalah unsur kesalahan yang tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Prinsip tersebut diatur pula dalam Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyebut setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Ketentuan pasal ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Direktur Penyelesaian Sengketa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jasmin Ragil Utomo mengakan akan mempelajari langkah berikutnya, terkait dengan hasil putusan majelis hakim yang mengabulkan sebagian gugatan.
BISNIS.COM