TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi merekomendasikan regulator memperhatikan betul prinsip kehati-hatian dalam mendatangkan sapi dan produk olahan dari zona yang berarti wilayah tertentu dalam suatu negara.
Setiap daging impor yang didatangkan ke dalam negeri salah satunya harus dilengkapi setifikat bebas dari penyakit mulut dan kuku dari otoritas kesehatan negara asal.
"Prinsip kehati-hatian dan keamanan maksimal atau maximum security mutlak diterapkan negara dalam melaksanakan pemasukan barang apapun, dari luar negeri ke dalam wilayah NKRI," kata Hakim Mahakamah Konstitusi Manahan Sitompul saat membacakan pertimbangan majelis di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa 7 Februari 2017.
Baca: Kuota Impor Sapi dan Daging Beku Resmi Dihapus
Menurut Manahan, impor diwajibkan sesuai dengan ketentuan dari Badan Kesehatan Hewan Dunia, dan diakui oleh otoritas verterinary Indonesia. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi ini, Pasal 36E ayat 1 Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan masih akan berlaku, namun persyaratannya diperketat.
Uji materi itu memang diajukan pemohon agar impor daging sapi atau olahannya dapat dilakukan, jika seluruh wilayah dalam negara importir telah dinyatakan bebas dari penyakit. Sementara pasal dalam Undang-undang 41 tahun 2014 sebelumnya memberlakukan sistem zonasi, di mana impor bisa dilakukan dari satu wilayah, meskipun wilayah lain dalam satu negara yang sama belum bebas penyakit.
Simak: Mentan Rilis Aturan Impor Daging Sapi Secondary Cut
Sejatinya pemohon, secara garis besar, menguji materi pasal 36 C ayat 1, pasal 36 C ayat 3, pasal 36 D ayat 1, pasal 36 E ayat 1 dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pasal-pasal itu menyoal sistem zonasi dalam pemasukan atau impor hewan ternak.
Pemohon, dalam hal ini, terdiri dari Ketua Dewan Peternakan Nasional Teguh Boediyana, Mangku Sitepu, Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, Asnawi, Rachmat Pambudy, dan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI).
Hampir semua permohonan uji materi yang terdaftar dalam nomor perkara 129/PUU-XIII/2015 itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. "Pertama, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian (pasal yang digugat)," ujar Ketua MK Arief Hidayat di ruang sidang MK.
Ia menegaskan, pasal 36 E ayat 1 UU 41 tahun 2014 bertentangan secara bersyarat dengan konstitusi, dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Tapi dalam poin putusan ketiga, Arief mengatakan MK menolak permohonan uji pasal lain yang diajukan pemohon.
YOHANES PASKALIS