TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan selama ini memang pemerintah dianggap kurang memperhatikan sektor kelautan. Karena itu, Kementerian Pariwisata seta Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerja sama menggenjot wisata bahari. Hingga 2019, pariwisata bahari ditargetkan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 4 miliar (Rp 53,3 triliun).
“Kami harapkan dengan kerja sama ini, wisata bahari terus membaik,” ujarnya di Jakarta, Selasa, 7 Februari 2017.
Kementerian Pariwisata dan Kementerian Kelautan Perikanan telah melakukan penandatanganan kerja sama untuk pengembangan wisata bahari. Acara itu juga dihadiri pejabat eselon I dari masing-masing kementerian.
Menurut Arief, sampai saat ini, wisata bahari hanya berkontribusi 10 persen dari total pendapatan devisa negara. "Jadi, kalau devisa kita US$ 10 miliar, sebenarnya US$ 12,6 miliar. Untuk menghafal jadi US$ 10 miliar saja. Wisata bahari hanya menyumbangkan 10 persen, (yakni) US$ 1 miliar," kata Arief.
Baca: Ekonomi Membaik di 2016, Tahun ini Waspadai Kisruh Pilkada
Arief menjelaskan, wisata bahari Malaysia memiliki kontribusi terhadap devisa mencapai 40 persen. Dengan nilai devisa US$ 20 miliar, wisata bahari milik Malaysia bisa menyumbang devisa negaranya sebesar US$ 8 miliar, atau 8 kali lipat dari Indonesia. "Padahal pantai terpanjang di dunia adalah Indonesia. Koral terbaik dua pertiganya atau 70 persennya ada di Indonesia. Namun potensi ini tidak menunjukkan performance Indonesia," ujarnya.
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, wisata bahari seharusnya menghasilkan lebih banyak pendapatan dibanding wisata darat. Sebab, jika dibandingkan dengan Maldives, sangat jauh.
Susi berpendapat, dengan luas pulau yang kecil, yang dia perkirakan tak lebih besar daripada Pulau Nias, Maldives bisa menghasilkan pendapatan total US$ 7 miliar dan untuk wisata baharinya bisa menghasilkan US$ 2 miliar.
Baca: Sri Mulyani Optimistis Investasi Tahun Ini Lebih Baik
Karena itu, Susi meminta jajaran eselon I di kementeriannya dan Kementerian Pariwisata merealisasikan kerja sama tersebut dan tak sekadar menjadi tanda tangan nota kesepahaman.
"Semua kerja sama jangan hanya MOU tanda tangan enggak ada follow up, ya. Saya mohon diperhatikan betul, biasanya MOU habis diteken, dimasukkan laci, sudah," tutur Susi.
RICHARD ANDIKA | ABDUL MALIK