TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Taslim Z. Yunus menyarankan pemerintah mengubah aturan tentang biaya investasi di sektor minyak dan gas. Perubahan diharapkan mampu menarik minat investor.
Menurut Taslim, sektor migas Indonesia kurang peminat. SKK Migas mencatat investasi hulu migas pada 2016 sebesar US$ 12,01 miliar. Jumlahnya lebih rendah 24,46 persen dibanding realisasi 2015 yang mencapai US$ 15,9 miliar.
Baca Juga: Pertamina Putuskan Bangun Sendiri Kilang Balongan-Dumai
Indikasi rendahnya minat investasi tecermin dalam kegiatan eksplorasi yang terus menurun. Taslim mengatakan kegiatan eksplorasi tidak menarik karena aturan yang memberatkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Salah satu yang memberatkan adalah biaya eksplorasi yang tidak bisa dikonsolidasikan ke biaya eksploitasi.
"Untuk itu, kami mengusulkan agar ada aturan konsolidasi biaya eksplorasi dan eksploitasi," kata Taslim dalam acara Ngobrol @Tempo di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa, 31 Januari 2017.
Taslim menambahkan, investasi di sektor migas bisa meningkatkan penemuan cadangan migas. Cadangan migas perlu segera ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan migas pada 2025, yaitu sebesar 3,5 juta barel oil equivalent.
Saat ini, kemampuan produksi migas hanya sekitar 2 juta barel oil equivalent. "Dengan eksplorasi dan drilling yang sangat sedikit, kemampuan produksi akan semakin menurun," Taslim berujar.
Simak: PLN Klaim Rasio Elektrofikasi di NTB Mencapai 77,69 Persen
Berdasarkan kajian SKK Migas, produksi migas pada 2025 diperkirakan hanya 1,5 juta barel oil equivalent dengan rincian 900 ribu barel gas dan 600 ribu barel minyak. "Artinya, ada gap 2 juta barel oil equivalent dengan kebutuhan," ucap Taslim.
VINDRY FLORENTIN