TEMPO.CO, Jakarta - Memasuki usia lanjut, Maman membatasi jumlah rokok yang dia isap. Dari satu-dua bungkus dalam sehari, kini pria berusia 65 tahun tersebut cuma menghabiskan paling banyak tiga batang rokok. Apalagi, pensiunan polisi itu mulai terserang batuk dan sesak napas.
“Sampai akhirnya dokter bilang jantung dan paru-paru saya sudah tak sekuat dulu,” kata dia kepada Tempo, Ahad, 22 Januari 2017 lalu.
Meski begitu, Maman belum bisa berhenti merokok secara total. Dia pun tak ambil pusing jika harus bolak-balik berobat lantaran sebagian biayanya ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Saya tahu merokok itu bikin penyakit. Tapi, ya kalau soal mati, enggak merokok juga orang akan mati,” begitu dia berdalih.
Baca : YLKI Beri Alasan Jokowi untuk Menolak RUU Pertembakauan
Maman boleh saja cuek. Tapi kenyataannya BPJS Kesehatan bisa boncos lantaran mesti menanggung pengobatan penyakit katastropik, alias penyakit mematikan akibat komplikasi, yang salah satunya disebabkan oleh rokok, seperti jantung, kanker, hingga gagal ginjal.
Pada tahun lalu saja, BPJS Kesehatan membayar Rp 14,58 triliun biaya manfaat atau klaim pelayanan kesehatan cuma untuk penyakit katastropik. Nilainya setara 21,73 persen dari total biaya manfaat seluruh penyakit.
Juru bicara BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, mengatakan tahun lalu biaya manfaat untuk penyakit katastropik naik 4,1 persen dari 2015. Menurut dia, rokok bisa menjadi penyebab utama atau pemicu tambahan dalam setiap kasus penyakit katastropik. “Meski tidak bisa diklaim 100 persen,” ucapnya.
Baca : Menteri Desa: Ada Dana Desa, Ekonomi Desa Tumbuh 12 Persen
Agar biayanya tak terus membengkak, BPJS Kesehatan berupaya menekan jumlah kasus penyakit katastropik melalui program pengelolaan penyakit kronis. Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dapat mendaftarkan diri dalam program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) terdekat.
GHOIDA RAHMAH