TEMPO.CO, Jakarta - Meski keran ekspor bijih nikel mulai dibuka kembali oleh pemerintah Indonesia, pasar komoditas logam ini diprediksi masih tetap stabil karena tingkat suplai yang terbatas dan proyeksi meningkatnya konsumsi.
Pada penutupan perdagangan Jumat 20 Januari 2017, harga nikel di bursa London Metal Exchange anjlok 2,46% atau 249,5 poin menuju US$9.648,5 per ton. Angka itu masih menunjukkan peningkatan 9,19% sepanjang tahun berjalan.
Macquarie Research dalam publikasinya menyampaikan, kebijakan pemerintah Indonesia membuka peluang ekspor bijih nikel tidak serta-merta membebani pasar global. Namun, prospek harga nikel mengalami tekanan dalam waktu dekat.
Pada Rabu 11 Januari 2017 lalu, Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Untuk menindaklanjuti beleid tersebut, telah diterbitkan dua Peraturan Menteri ESDM, yaitu Permen ESDM no.5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri, dan Permen ESDM no.6/2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Permurnian.
Dalam Permen ESDM no.5/2017 tertulis nikel kadar rendah di bawah 1,7% dan bauksit kadar rendah di bawah 42% wajib diserap oleh fasilitas pemurnian minimum 30% dari kapasitas input smelter. Apabila kebutuhan dalam negeri nikel kadar rendah dan bauksit kadar rendah telah terpenuhi, maka sisanya di jual ke luar negeri.
Adapun dalam Permen ESDM no.6/2017, tercantum perihal rencana penjualan ke luar negeri yang memuat, salah satunya jenis dan jumlah mineral Logam yang telah memenuhi batasan minimum pengolahan/nikel dengan kadar <1,7%.
Menurut para analis Macquarie, adanya peraturan tersebut membuat PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) dapat mengirimkan bijh nikel dengan kapasitas 70.000 ton per tahun pada 2017 yang berasal dari stok, kemudian berangsur dari penambangan baru. Adapun perusahaan lain tidak akan melakukan ekspor.
Dengan perhitungan volume sebesar itu, maka sentimen negatif membayangi harga bijih nikel dan meningkatkan ongkos produksi nickel pig iron (NPI) di China. Alhasil faktor tersebut memengaruhi harga nikel global.
"Dalam skenario tersebut, harga nikel akan berada di kisaran US$9.000-US$10.000 per ton," papar riset.
Produksi nikel NPI via rotary kiln electric furnace (RKEF) merupakan kunci penentu harga di LME. Sekitar setengah dari biaya tersebut berasal dari harga bijih. Atas perhitungan itulah harga nikel dapat tertekan ke bawah US$10.000 per ton.
Namun demikian, Macquarie memperkirakan pengiriman bijih nikel dari negara lain tidak akan bertumbuh seperti Indonesia, karena khawatir membuat harga global tertekan. Oleh karena itu, pasar nikel dunia diprediksi tetap stabil, sehingga harga tetap berpotensi untuk menguat.
"Negara produsen lain mengkhawatirkan produksi dan pengiriman nikel yang lebih tinggi malah menjadi 'kanibal', karena potensi rendahnya harga menekan pemasukan," jelasnya.
BISNIS.COM