TEMPO.CO, Jakarta - Bank Pembangunan Daerah atau BPD mengutamakan restrukturisasi sebagai cara untuk menangani kredit bermasalah. Cara tersebut salah satunya ditempuh oleh BPD Sumatra Utara dengan merestrukturisasi sebesar Rp 220 miliar kredit bermasalah pada tahun lalu.
Adapun total penyaluran kredit BPD sepanjang tahun 2016 sejumlah Rp 19,5 triliun atau tumbuh 4,5 persen (yoy). “Selain dengan collection, rencana kami [menanganinya dengan] restrukturisasi,” ucap Direktur Utama BPD Sumut Eddie Rizliyanto kepada Bisnis, Jumat, 20 Januari 2017.
Pada tahun ini BPD Sumut lebih optimistis mampu menangani kredit bermasalah dengan lebih baik. Perseroan menargetkan non-performing loan (NPL) pada kisaran 3 persen, sedangkan sepanjang tahun lalu mencapai 4,68 persen.
Secara umum, BPD Sumatra Utara menjalankan empat hal dalam menangani kredit bermasalah, yaitu penagihan (collection), lelang (auctionI), restrukturisasi, dan write-off. “Restrukturisasi [ditempuh] dengan lebih permudah nasabah dengan tiga cara dan pinjamannya tetap ada dalam portofolio bank. Kalau penagihan biasanya pinjamannya lunas,” kata Eddie.
Sementara BPD Nusa Tenggara Barat (NTB) mengaku, tak jauh beda dengan rekan-rekan sesama bank daerah. BPD NTB menekankan, pihaknya berupaya sangat menekan NPL sejak awal pemberian kredit digulirkan.
“Dalam bisnis kami, proses kredit kami tekankan harus benar agar jangan sampai ada conflict of interest dan seterusnya. Kalau sampai ada konflik dan muncul NPL, lebih sulit menanganinya,” ucap Direktur Utama BPD NTB Komari Subakir kepada Bisnis.
Pada tahun lalu NPL gross BPD Sumatra Utara 1,2 persen atau lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang di kisaran 1,31 persen. Selama enam tahun terakhir, rasio kredit bermasalah perseroan tertinggi pada 2011 mencapai 2,17 persen.