TEMPO.CO, Banyumas – Ketua Kelompok Tani Banyumanggar, Sarwo Edi, tidak kehabisan ide ketika penjualan gula semut di Kabupaten Banyumas sedang lesu. Tiga tahun lalu, dia bersama sekitar 20 orang petani gula semut mencoba untuk mengekspor gula semut melalui PT. Holos Integral Bekasi.
“Bila tidak melakukan inovasi pemasaran kami bisa habis tidak ada penghasilan karena disini kurang begitu laku,” katanya saat ditemui Tempo di rumahnya, Minggu, 8 Januari 2016.
Di Kelurahan Rancamaya, Kecamatan Cilongok, Banyumas, dia membawahi sebanyak 45 petani nira. Setiap petani dalam sehari menyetorkan sebanyak 5 kilogram. Sebelum mulai diekspor, terlebih dahulu gula semut harus lolos sertifikasi dari Control Union, Belanda. “Dari segi bahan harus dari bahan alami dan tidak boleh ada bahan campuran lain,” ujarnya.
Tidak hanya itu, penanaman pohon kelapa minimal harus berjarak sejauh 200 meter dari sungai dengan ketinggian 700 mdpl. Hal ini dikhawatirkan sungai yang mengandung kotoran dapat terserap oleh batang pohon. Selain itu, dalam perawatannya nira tidak diperbolehkan menggunakan bahan pestisida atau zat kimia lainnya.
“Selain itu, setiap enam bulan sekali tim penguji juga mewawancarai petani dari aktivitas merawat pohon, pengambilan nira, sampai kebersihan dapur untuk dijadikan gula. Bila tidak memenuhi klasifikasi dia akan dicoret,” terangnya.
Kini, jumlah petani nira yang sudah tersertifikasi mencapai sebanyak 400 orang. Jumlah tersebut berasal dari Kelurahan Rancamaya, Gununglurah, Sokawera, Batuanten, dan Tamansari. Dalam seminggu, ujar Edi, petani ditarget menyetorkan sebanyak 8 ton gula semut untuk siap dieskpor. “Harga yang dibayarkan ke petani per-kilogramnya sebesar Rp 16 ribu. Kami berharap dengan begitu dapat meningkatkan pendapatan petani,” katanya.
Edi menambahkan, Sebanyak 95 persen lebih pasokan gula semut yang diperolehnya dari petani, sudah diekspor ke negara Belanda, Selandia Baru, Jepang, dan Amerika Serikat. “Sisanya dijual lokal kalau ada yang pesan,” pungkasnya.
Bethriq Kindy Arrazy