TEMPO.CO, Jakarta - Kiprah Amelia Rachim sebagai desainer perhiasan muda Indonesia yang berkiprah di Italia tidak diragukan lagi. Wanita kelahiran tahun 1985 ini berhasil menjadi pemenang termuda dalam sebuah kompetisi desain bertajuk “Design Time” yang diselenggarakan oleh BREIL, sebuah ikon merek jam dan perhiasan ternama di Italia, September 2011.
Alumnus Desain Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB) berhasil menyisihkan sebanyak 3.037 desainer yang berasal dari 96 negara. Sejak itu, namanya kian berkibar di industri perhiasan dan karyanya dianggap membawa angin segar bagi industri perhiasan mewah dunia.
Beberapa karya besarnya di antaranya adalah cincin Zamrud Khatulistiwa, yang menjadi karya terbaiknya sampai saat ini. Karya ini berhasil menarik perhatian dunia. Cincin tersebut digunakan artis Hollywood, pemenang Emmy Award Kristin Chenoweth (pemain serial Glee) saat tampil di acara Oprah TV Show beberapa tahun lalu.
Zamrud Katulistiwa (swa.co.id)
Selain itu, penyanyi Indonesia, Anggun. C Sasmi, juga menggunakan karyanya saat tampil di Concerto di Natale atau Christmas Concert di Italia. Bahkan Cincin Zamrud Khatulistiwa telah menjadi ikon fashion dan ditampilkan di sejumlah majalah fashion dunia seperti Vogue, Elle, dan masih banyak lagi.
Peraih Master Degree in Jewellery Engineering dari Politecnico University di Torino (POLITO), Italia ini mengaku jatuh cinta pertama kali pada desain perhiasan saat bekerja dan merintis karier di Bali pada medio 2007. Pada November 2008, setelah menyelesaikan gelar sarjananya dalam bidang Desain Industri di ITB, ia kemudian memutuskan untuk hijrah ke Italia dan mendalami jewellery engineering.
Kini Amalia bekerja untuk industri perhiasan di Italia (AMJ Designs Sas., Novarank Srl., Manca Gioelli Snc., Marako Gioello Italiano Srl.) dan Canada (Mejuri Inc.).
Wanita yang kini menetap di Italia, beberapa waktu lalu sempat kembali ke Tanah Air dan berkunjung ke Semarang untuk bertemu dengan 525 mahasiswa dari 90 perguruan tinggi dari seluruh Indonesia penerima Djarum Beasiswa Plus. Kebetulan, ia pernah menjadi salah satu penerima beasiswa plus tahun 2006/2007 dari Djarum Foundation. Hingga saat ini, melalui program Bakti Pendidikan, Djarum Foundation telah memberikan beasiswa plus terhadap 9.855 mahasiswa berprestasi dari seluruh Indonesia.
Berikut petikan wawancara Wartawan SwaOnline dengan Amelia Rachim, di sela-sela acara Dharma Puruhita Beasiswa Djarum, di komplek PRPP, Semarang, Jawa Tengah :
Tahun berapa anda menjadi salah satu penerima beasiswa dari Djarum Foundation?
Ketika saya kuliah di ITB Tahun 2006/2007.
Mengapa tertarik ikut program tersebut?
Sebenarnya nominal yang diterima tidak seberapa, waktu itu hanya untuk menambah uang jajan. Yang saya cari bukan itu, tapi soft skills (keterampilan lunak) yang diberikan kepada para penerima beasiswa. Inilah yang berperan penting dalam karier saya karena rasa percaya diri saya semakin meningkat. Pelatihan soft skills ini meliputi pelatihan nation building, character building, leadership development, competition challenges, international exposure dan community empowerment yang diberikan kepada para penerima Beasiswa Plus Djarum.
Apa manfaat yang dirasakan?
Keterampilan tersebut justru membantu mengantarkan saya bisa meraih sukses seperti sekarang. Apalagi saya dulu pendiam dan introvert. Dari dulu saya hobi menggambar dan memiliki kemampuan mendesain juga. Tapi melalui Beasiswa Plus Djarum Foundation, membuat saya berani ikut berbagai lomba dan rasa percaya dirinya lebih tinggi. Bahkan, saya memberanikan diri untuk mencari beasiswa dan berhasil meraih gelar Master Degree in Jewellery Engineering di Politecnico, Italia.
Mengapa Italia yang dipilih?
Saya terobsebsi dengan Italia. Saat itu saya ingin kuliah di Italia, bahkan ketika di ITB pun saya sempat belajar bahasa Italia. Apalagi Italia dikenal sebagai negara art yang membuat saya pingin belajar di negara tersebut.
Mengapa desainer perhiasan yang dipilih?
Karena waktu kuliah jurusan desain industri ITB, saya senang hal-hal yang detai dan pernak pernik yang kecil-kecil. Saya disarankan oleh dosen saya untuk spesialisasi di perhiasan dan aksesoris. Kebetulan saya anak cewek satu-satunya, sehingga mendapat dukungan dari orang tua agar ada yang feminim di rumah.
Saya pernah kerja praktik di Jani Silver, Bali. Selanjutnya mencari beasiswa di Torino, Italy (Polito). Dari situlah saya mulai karier di dunia perhiasan dan sambil mencari-cari kerja dengan menghadiri pameran-pameran perhiasan.
Apa saja tantangan yang dihadapi?
Dari awal banyak perusahaan yang masih memandang sebelah mata. Saya pun rajin datang ke acara pameran perhiasan sambil menyebarkan hasil presentasi, dari situ saya mendapat order dan memberikan diskon lumayan besar. AMJ Designs Sas, tempat saya bekerja sekarang juga awalnya memandang sebelah mata.
Tantangan terbesar adalah, bila karya seni tersebut dikopi. Contohnya ketika Zamrud Khatulistiwa. Untungnya perusahaan tempat saya bekerja yang berada di Kanada organisasinya sangat bagus, punya pengacara pribadi perusahaan, sehingga semua yang terkait pemalsuan diurus mereka. Ketika dikopi, saat itu saya merasa sakit, tapi dalam hati bangga juga karena karya saya mulai diperhitungkan di pasar internasional. Saya rasa bajak membajak tidak bisa dihindari. Jadi saya harus lebih sering melakukan pembaharuan. Apalagi produsen perhiasan di Italia banyak, sehingga harus punya desain yang bener-benar beda dan ide yang cemerlang.
Apa bentuk desain yang dihasilkan?
Kebanyakan cincin, anting dan banyak juga kalung.
Apa yang membedakan karya anda dengan desainer di luar negeri?
Saya selalu cari cara supaya bisa beda agar punya ciri khas tersendiri di pasar. Waktu saya ikut lomba di Kanada tahun 2013 dan menang dengan memperkenalkan Zamrud Khatulistiwa. Apalagi di Italia juga banyak desainer-desainer produk, sehingga untuk membedekannya, saya lebih fokus menonjolkan ciri khas Indonesia. Ternyata sangat diminati, dari situlah saya selalu mengangkat tema Indonesia, seperti Toraja, Zamrud Khatulistiwa, Garuda dan sekarang sedang mempersiapkan Bromo.
Garuda (swa.co.id)
Dari mana inspirasinya?
Karena kangen dengan Indonesia, saya sering browsing tempat wisata yang menarik di Indonesia. Misalnya dengan tema Toraja, saya menonjolkan tanduk-tanduk dari rumah adat Toraja, begitu juga Garuda yang menonjolkan kuku-kunya. Begitu juga Bromo, kebetulan tema yang saya buat tentang mountain, sehingga saya tertarik Bromo ada larvanya yang warnanya kemerah-merahan dan mendekati warna gold. Tema Bromo baru akan dirilis tahun 2017.
Berapa harganya?
Tergantung dari desainnya, range-nya sekitar 150-300 euro, tapi yang tingkat pengerjaan lebih rumit seperti Zamrud Khatulistiwa, nilainya di atas Rp 40 juta.
Bagaimana memasarkannya?
Saya menjual lewat website pribadi dan juga perusahaan tempat saya bekerja, apalagi perusahaannya juga sudah punya website. Ini sudah saya lakukan sejak merilis Zamrud Khatulistiwa.
Apakah sudah memiliki brand tersendiri?
Saat ini belum, tapi brand–nya disesuaikan dengan brand perusahaan Italia ataupun Kanada. Tapi saya punya perjanjian dengan mereka, misalnya AMJ by Amelia Rachim. Karena kerjasamanya bisa per proyek atau dengan membayar royalty. Ini yang kontinyu, tapi saya juga bekerja freelance, sehingga sering dapat project dari perusahaan lain.
Ke depan, apakah ingin kembali dan mengembangkan bisnis ini di Indonesia?
Rencana real belum, tapi keinginan ada. Karena di Eropa mereka lebih menghargai desain, berbeda dengan di Indonesia. Mimpi saya ingin punya label yang yang mempresentasikan Indonesia dan dikenal manca negara. Saya ingin memperkenalkan citra Indonesia di mata dunia.
SWA.CO.ID