TEMPO.CO, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan akan mengadopsi model Shauroshi. Sharousi merupakan model keagenan untuk akuisisi peserta jaminan sosial Jepang yang dikerjasamakan dengan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto menyatakan adopsi Shaurosi di Indonesia dengan nama agen Penggerak Jaminan Sosial Indonesia atau Perisai. BPJS Ketenagakerjaan merekrut individu-individu yang dibekali dengan pelatihan dan sertifikasi yang mumpuni untuk menjalankan profesi agen Perisai, yaitu fungsi akuisisi, edukasi, sosialisasi, dan konsultasi jaminan sosial khususnya ketenagakerjaan.
Perisai adalah salah satu bentuk pencapaian kerja sama, antara Ministry of Health Labor and Welfare (MHLW), JICA, Federasi Sharoushi, dan BPJS Ketenagakerjaan. “Program ini telah diujicobakan di Yogyakarta dan Jember sejak Oktober 2016,” ujar Agus seperti dikutip dari siaran pers, Selasa, 27 Desember 2016.
Agus menjelaskan kinerja para agen Perisai di daerah Yogyakarta dan Jember sangat memuaskan. Dalam kurun dua bulan setelah peluncuran, agen Perisai berhasil melakukan akuisisi di daerah Yogyakarta sebanyak 1.293 pekerja dan 181 pekerja di daerah Jember dengan kolektibilitas iuran mencapai 100 persen.
Selain dengan pimpinan JICA, yaitu Senior Vice President JICA Suzuki Norito dan Director JICA Kumagai Masato Deputy di Tokyo, Jepang, Agus datang bersama Direktur Perencanaan Strategis dan IT BPJS Ketenagakerjaan Sumarjono. Selain itu, ada President Shauroshi Federation Japan Kenzo Onisi, serta beberapa pimpinan MHLW Japan.
Dengan hasil yang dicapai ini, ujar Agus, pihaknya telah memperluas pilot project jaringan Perisai di sembilan kota lainnya, yaitu di Medan, Serang, Jakarta, Bandung, Bali, Kupang, Mataram, Manado, dan Makassar. "Hal ini kami lakukan tentunya untuk percepatan meningkatkan cakupan kepesertaan dan memperluas jangkauan perlindungan kepada seluruh pekerja, khususnya pekerja BPU (bukan penerima upah)", kata Agus.
Selama ini, ada beberapa tantangan yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan yang juga dapat terjadi dengan Perisai, yaitu faktor sosial ekonomi, demografi, budaya, hingga regulasi yang ada. Agus berharap dukungan JICA kepada BPJS Ketenagakerjaan diperluas, termasuk untuk penguatan capacity building BPJS Ketenagakerjaan dalam menangani program pensiun.
Alasannya, permasalahan yang sedang dihadapi oleh Jepang dalam menangani program pensiun saat ini sangat mungkin bisa terjadi di Indonesia 20 tahun mendatang, yakni saat mayoritas penduduk Indonesia memasuki usia tua (aging population) seperti Jepang sekarang ini.
Agus berharap kerja sama yang sudah terjalin dapat dituangkan dalam high level commitment. “Untuk memastikan sarana pertukaran pengetahuan, penelitian, dan pengembangan sistem jaminan sosial termasuk jaminan pensiun, serta implementasi model Shauroshi di Indonesia dapat dilaksanakan secara optimal," tuturnya.
REZKI ALVIONITASARI