TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita membantah tuduhan bahwa importir daging (karkas) bebek berizin memasukkan daging ke pasar tradisional.
Kalau pun ada daging yang rembes, menurut Ketut, pelakunya bukan mereka. “Pasti di luar importir yang dapat izin,” kata dia kepada Tempo pada Selasa, 20 Desember 2016.
Dugaan rembesnya daging ke pasar tradisional dicetuskan oleh Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuni). Ketua Himpuni Ade Zulkarnaen mengatakan, indikasi rembes diperkuat setelah ada upaya penyelundupan 2.100 ekor bebek Peking asal Malaysia yang digagalkan Balai Karantina Pertanian Bakauheni. Bebek yang rencananya akan dikirim ke Jawa tersebut diketahui milik salah satu dari tujuh importir resmi.
Baca: Realisasi Impor Bebek 3.600 Ton Seret
Ketut menjelaskan, kesimpulan tersebut berdasarkan hasil rapat koordinasi antarinstitusi untuk membahas pengendalian peredaran daging bebek pada Senin sore, 10 Desember 2016. Rapat tertutup yang berlangsung selama tiga jam tersebut dihadiri perwakilan dari Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Badan Karantina Pertanian, Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, Dinas KPKP DKI Jakarta, hingga Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara.
Ketut menerangkan, importir resmi tidak mungkin memasukkan daging ke pasar tradisional karena jumlah realisasi karkas impor tidak melebihi kuota penugasannya. Jika importir memasukkan karkas ke pasar tradisional, Ketut mengatakan, jumlah realisasi impor seharusnya melonjak. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara dan Dinas KPKP DKI Jakarta pun telah memastikan tak ada daging bebek impor yang rembes di pasar tradisional di daerah mereka.
Simak: Bebek Impor Merembes ke Pasar Tradisional
Indikasi importir resmi tidak bermain, menurut Ketut, harga daging bebek di pasar tradisional. Harga jual daging bebek lokal di pasar tradisional saat ini masih di kisaran Rp 29-30 ribu per kilogram. Ia mengatakan, importir resmi juga tidak mungkin menjual daging ke pasar tradisional karena harganya lebih tinggi ketimbang daging lokal, yakni Rp 80-85 ribu. Dengan perbedaan harga yang tinggi, masyarakat yang terbiasa berbelanja di pasar tradisional tak mungkin melirik bebek impor. “Tidak akan ada yang beli dengan harga segitu,” kata Ketut.
Data ketut berbeda dengan versi Ketua Himpuni Ade Zulkarnaen. Ade menuturkan, rembesan daging impor menyebabkan harga jual daging bebek di pasar tradisional anjlok dalam beberapa waktu terakhir. Harganya anjlok dari Rp 24 ribu menjadi Rp 19 ribu per kilogram.
Ketut pun menyatakan berencana bertemu dengan Himpuni. Selain membahas dugaan daging impor yang rembes, ia juga ingin memberikan masukan mengenai peningkatan daya saing dengan produk internasional. Salah satu yang akan ia soroti adalah pengembangan rantai dingin (cold chain).
Mengenai oenyelundupan, Ketut menjelaskan, tindakan Badan Karantina Pertanian mencegah penyelundupan merupakan indikasi adanya barang ilegal yang masuk. Badan tersebut tercatat sudah menindak 5.068 kasus sepanjan 2016, meningkat 56,86 persen dibandingkan tahun lalu.
Simak: Bebek Ilegal, Dinas Peternakan Jawa Barat Operasi Pasar
Ketut memastikan, jika benar terjadi penggelontoran bebek impor ke pasar tradisional pelakunya bukan importir pemegang izin impor bebek. Akan ada sanksi jika importir terbukti memasarkan daging di luar peruntukannya yaitu untuk hotel, restoran, industri, catering, dan pasar yang memiliki rantai dingin. “Akan diproses di kepolisian,” ujar Ketut.
Kementerian Pertanian memberikan rekomendasi kuota impor karkas bebek 2016 sebanyak 3.600 ton. Kuota diberikan kepada tujuh importir di tiga daerah yaitu Jakarta, Batam, dan Sumatera Utara dan diambil dari rumah potong bebek di Malaysia, yaitu Perak Duck dan PG Lean Hwa. Enam dari ketujuh importir telah mendapatkan izin dari Kementerian Perdagangan. Satu perusahaan lainnya tidak mengajukan izin meski mendapat rekomendasi.
Berdasarkan data Pusat Karantina Hewan, jumlah realisasi karkas bebek impor mencapai 3.028 ton sejak 1 Januari – 19 Desember 2016. Realisasinya mencapai 0,7 persen dari kebutuhan nasional sebesar 382.500 ton.
VINDRY FLORENTIN | AKBAR TRI KURNIAWAN