TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perindustrian menerbitkan standar industri hijau (SIH) untuk 17 jenis industri. Standar tersebut disusun berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) digit lima yang memuat ketentuan mengenai bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, dan pengelolaan limbah.
“Standar industri hijau diharapkan dapat menjadi pedoman perusahaan menjalankan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan. Bisa juga memacu peningkatan pasar ekspor karena ramah lingkungan dan penghematan cost karena efisien,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam rilisnya, Senin, 19 Desember 2016.
Menurut Airlangga, sejak 2014, konsensus atas SIH untuk 17 industri sudah tercapai, yaitu industri semen portland; ubin keramik; pulp dan kertas; susu bubuk; pupuk buatan tunggal hara makro primer; pengasapan karet; karet remah; tekstil pencelupan, pengecapan, dan penyempurnaan; gula kristal putih; kaca pengaman berlapis; kaca pengaman diperkeras; barang lain dari kaca; kaca lembaran; penyamakan kulit; pengawetan kulit; baja flat product; baja long product.
Airlangga menambahkan, SIH akan diberlakukan secara wajib jika semua infrastruktur dan pelaku industri telah siap. “Pada tahap awal, standar industri hijau diberlakukan secara sukarela. Namun, nantinya, secara selektif bersifat wajib. Perusahaan yang tidak dapat memenuhi standar industri hijau tentunya akan dikenakan sanksi,” katanya.
Menurut Airlangga, perusahaan yang telah menerapkan SIH berhak mengajukan verifikasi industri hijau guna mendapatkan sertifikat dan menyandang logo industri hijau. “Apabila industri hijau sudah menjadi tujuan dan motivasi industri secara umum, itu bisa menjadi katalis dan akselerator dalam pengembangan industri yang berbasis inovasi dan berdaya saing tinggi."
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian Haris Munandar menjelaskan, SIH diperlukan karena akan menjadi alat ukur dan indikator untuk mengetahui sejauh mana prinsip industri hijau telah diterapkan perusahaan. “Standar ini telah disepakati bersama oleh stakeholders,” ujarnya.
Menurut Haris, SIH juga menjadi sarana yang andal yang dapat menjadi acuan dalam melakukan pembinaan dan pengembangan industri, khususnya menyiapkan program yang mendukung pembangunan kapasitas sumber daya manusia dan peningkatan penguasaan teknologi, termasuk melalui pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan pengembangan nasional.
Haris menambahkan, pengembangan industri hijau juga bertujuan meningkatkan efisiensi penggunaan energi, yang sekaligus akan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). “Upaya ini relevan dengan komitmen Indonesia dalam menurunkan GRK,” tuturnya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI