TEMPO.CO, Jakarta - Kekhawatiran Partai Gerakan Indonesia Raya bahwa skema gross split dalam kontrak bagi hasil eksplorasi minyak dan gas melanggar konstitusi mendapatkan tanggapan dari organisasi kemasyarakatan Projo. Handoko, Ketua Bidang Energi Dewan Pengurus Pusat Projo, mengatakan skema gross split sama sekali tidak melepaskan kekuasaan negara atas kekayaan alam. Penentuan wilayah kerja, kapasitas produksi dan lifting, aspek komersial, serta bagi hasil tetap dilakukan negara.
“Tetap yang mengurus SKK Migas,” katanya via pesan singkat, Rabu, 14 Desember 2016, setelah berdiskusi dengan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar di Restoran Penang Bistro, Jakarta Pusat.
Handoko menanggapi pernyataan anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Gerindra, Harry Purnomo, bahwa skema gross split sama dengan skema kontrak karya dalam pertambangan mineral dan batu bara. Maka harus jelas konsep skema gross split dalam eksplorasi migas.
Baca: Partai Gerindra Curiga Gross Split Migas Langgar Konstitusi
Harry mencontohkan, bagaimana kewajiban menggunakan komponen dan tenaga kerja dalam negeri, kewajiban memperbaiki kondisi lingkungan, serta kewajiban rehabilitasi pascatambang jika menggunakan skema gross split. "Kalau migas dilakukan dengan gross split, saya khawatir amanat Pasal 33 UUD tidak bisa dilaksanakan dengan baik," ucap Harry di Tanamera Coffee, Jakarta, Rabu, 14 Desember 2016.
Handoko menjelaskan, inti Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 adalah cabang produksi dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Berdasarkan skema gross split, ujar dia, penawaran atas wilayah kerja, patokan dasar bagi hasil, kriteria variabel, serta target kemajuan proyek ditentukan di awal oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Baca: Pertamina: Skema Gross Split Hilangkan Fungsi SKK Migas
Adapun kajian dan persetujuan kerja serta program masih ditangani Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).
Perubahan dari skema cost recovery yang puluhan tahun dipraktekkan di Indonesia hanyalah cara atau metode menentukan bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Selanjutnya urusan investor adalah mencari keuntungan dari hasil kerja di lapangan. “Jadi enggak ada isu soal kedaulatan negara atas kekayaan alam,” ujar Handoko.
Skema gross split sedang dibahas Kementerian Energi sebagai pengganti skema cost recovery. Dalam cost recovery, negara dan kontraktor masing-masing menerima bagi hasil 85 persen dan 15 persen. Namun porsi pemerintah akan dikurangi biaya produksi kontraktor sesuai dengan besaran yang mereka klaim.
Kalau skema gross split, bagian pemerintah tidak dikurangi biaya produksi kontraktor. Pemerintah pun tidak perlu lagi menganggarkan cost recovery dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Skema bagi hasilnya, kedua pihak akan mendapatkan porsi sama besar.
Baca: Wakil Menteri Arcandra: 2017 Sektor Energi Harus 'Move On'
Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Tbk. Ahmad Bambang menuturkan, dengan skema gross split, pemerintah tak lagi menanggung biaya produksi kontraktor yang saat ini diserahkan kepada SKK Migas. Maka pemerintah akan menghilangkan fungsi SKK Migas. "Fungsi SKK Migas jadi tidak ada karena cuma tanda tangan kontrak terus tidak perlu mengawasi. Tapi itu urusan pemerintah," ucapnya, Selasa, 13 Desember 2016.
Handoko menampik anggapan bahwa pelaksanaan gross split akan meniadakan peran SKK Migas. Menurut dia, kajian dan persetujuan kerja KKKS tetap ditangani SKK Migas.
JOBPIE S.