TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Harry Purnomo, menilai rencana penerapan skema baru gross split dalam pengelolaan lapangan minyak dan gas bumi mesti dikaji lebih mendalam. Dia mempertanyakan, apakah konsep itu tidak menyalahi Undang-Undang Dasar 1945.
"Apakah itu sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD kita, di mana semua sumber daya alam kita dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat? Siapa pun yang mengelola sumber daya alam kita, intervensi kita harus mendalam," ucap Harry di Tanamera Coffee, Jakarta, Rabu, 14 Desember 2016.
Baca: Pertamina: Skema Gross Split Hilangkan Fungsi SKK Migas
Skema gross split sedang dibahas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai pengganti skema cost recovery. Dalam cost recovery, negara dan kontraktor menerima bagi hasil masing-masing 85 persen dan 15 persen. Namun porsi pemerintah akan dikurangi biaya produksi kontraktor sesuai dengan besaran yang diklaim.
Kalau skema gross split, bagian pemerintah tidak dikurangi biaya produksi kontraktor. Pemerintah pun tidak perlu lagi menganggarkan cost recovery dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Skema bagi hasilnya, kedua pihak akan mendapatkan porsi sama besar.
Baca: Ini Alasan SKK Migas Harus Masuk ke Holding BUMN
Harry menuturkan skema gross split dalam pengelolaan lapangan migas sama dengan skema kontrak karya dalam pertambangan mineral dan batu bara. Maka harus jelas konsep tentang skema gross split dalam eksplorasi migas.
Harry mencontohkan, bagaimana kewajiban menggunakan komponen dan tenaga kerja dalam negeri, kewajiban memperbaiki kondisi lingkungan, serta kewajiban rehabilitasi pascatambang jika menggunakan skema gross split. "Kalau migas dilakukan dengan gross split, saya khawatir amanat Pasal 33 UUD tidak bisa dilaksanakan dengan baik."
ANGELINA ANJAR SAWITRI