TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengisahkan pengalamannya menangani anggaran untuk pemulihan pasca bencana alam tsunami di Aceh pada akhir 2004 lalu. Sri Mulyani yang saat itu masih menjadi Kepala Bappenas mengakui, dari sisi keuangan negara, penanganan anggaran untuk bencana tsunami di Aceh merupakan hal yang baru.
"Tiba-tiba ada satu bagian dari Indonesia yang tersapu tsunami. Pemerintah daerah, 30 persen stafnya meninggal. Sehingga, kami turunkan orang pusat ke sana dan dibuat Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi," ujar Sri Mulyani dalam Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN dari Masa ke Masa di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu, 30 November 2016.
Saat itu, menurut Sri Mulyani, negara-negara di dunia ingin membantu Indonesia hingga US$ 13-15 miliar. Karena tidak ingin bantuannya dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu, negara-negara yang ingin membantu Indonesia tidak ingin bantuan tersebut masuk ke dalam struktur APBN. "Kalau orang tidak percaya, mintanya memang macam-macam," tuturnya.
Namun, menurut Sri Mulyani, penanganan anggaran bencana tsunami Aceh akhirnya berhasil dengan adanya BRR yang bertugas untuk memonitor bantuan dari negara-negara di dunia."Tsunami Aceh, dalam penanganan akuntabilitas keuangannya, adalah contoh yang sangat langka di dunia. Di semua negara, begitu terjadi bencana, biasanya menjadi lahan korupsi."
Pada periode rekontruksi Aceh, mulai dari 2005 hingga 2009 atau berakhirnya masa Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR), terdapat bantuan dalam jumlah besar dari negara-negara di dunia. Dana yang dikelola BRR berkisar Rp 60-70 triliun. Ditambah dengan dana masyarakat internasional, jumlah dana yang dikelola BRR sekitar Rp 120 triliun.
ANGELINA ANJAR SAWITRI