TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah dalam transaksi antarbank di Jakarta pada Senin pagi, 14 November 2016, turun 67 poin menjadi 13.447 per dolar Amerika Serikat.
"Ketidakpastian global yang meningkat ketika pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia diumumkan relatif melambat sudah cukup untuk memicu pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika," ucap ekonom Samuel Sekuritas, Rangga Cipta.
Rangga mengatakan tekanan terhadap rupiah berpeluang bertahan dalam jangka pendek ini, paling tidak sampai pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada Desember 2016.
"Namun ruang pelemahan bisa tertahan dengan intervensi Bank Indonesia di pasar valas dan surat utang negara," ucapnya.
Ia memperkirakan, dalam jangka menengah, membaiknya indikator fundamental, seperti defisit neraca transaksi berjalan, inflasi, dana prospek perbaikan defisit fiskal, akan menjaga tren penguatan rupiah.
Rangga juga menuturkan fokus akan perlahan beralih ke data perdagangan Indonesia dan kebijakan Bank Indonesia terhadap BI 7-day (Reverse) Repo Rate yang sedianya akan dirilis pekan ini.
Pengamat pasar uang Bank Woori Saudara Indonesia Tbk, Rully Nova, mengatakan, di tengah sentimen yang masih cenderung negatif, aksi hindar terhadap aset mata uang berisiko masih berlanjut, sehingga menambah tekanan terhadap mata uang rupiah.
Di sisi lain, dia menjelaskan, sebagian pelaku pasar mulai melirik komoditas emas sebagai pengalihan karena logam mulia dinilai dapat menjaga nilai aset agar tetap stabil.
ANTARA