TEMPO.CO, Seoul - Perusahaan baja raksasa asal Korea Selatan, Pohang Iron and Steel Company (POSCO), bisa memenuhi separuh kebutuhan baja Indonesia pada 2025 mendatang. Senior Vice President POSCO, Lim Seung Kyu, mengatakan hal itu terwujud melalui perusahaan patungan dengan PT Krakatau Steel yang akan memproduksi baja 10 juta ton.
"Visi kami itu memang berdasarkan kebutuhan," kata Seung Kyu saat wawancara khusus dengan lima media dari Indonesia di kantor pusat Posco, Gangnam, Seoul, Korea Selatan, Jumat, 4 November 2016.
Menurut Seung Kyu, hitungan itu berdasarkan penelitian menggunakan data 2014 yang menyebutkan kebutuhan baja di Indonesia 13 juta ton. Selama ini Indonesia hanya mampu memenuhi 6,5 juta ton, dan sisanya impor.
Dilihat dari kriteria atau jenisnya, konstruksi mengambil porsi paling besar yakni 8,4 juta ton atau 65 persen. Sedangkan otomotif sekitar 16 persen atau 2,4 juta ton, mesin 804 ribu ton, dan shipping 500 ribu ton.
Berdasarkan studi dari tim POSCO, kebutuhan baja sampai 2025 mengalami pertumbuhan hingga 24 juta ton. "Hampir dua kali lipatnya," ujar Seung Kyu.
Baca Juga:
Menurut Seung Kyu, dari kebutuhan itu, konstruksi tetap dominan menjadi pengguna baja terbesar. "Konstruksi akan sedikit bertambah di 2025 karena Indonesia infrastrukturnya akan diperkuat." Karena itu, dia memperkirakan kebutuhan baja untuk konstruksi pada 10 tahun mendatang mencapai 68 persen. Sedangkan kebutuhan baja untuk otomotif meningkat menjadi 4,4 juta ton. Adapun industri lainnya menurun.
Head Global Research Center POSCO Research Institute Kwang Sook Huh mengatakan kluster 10 juta ton baja ini menggabungkan kapasitas Krakatau Steel yang sekarang, ditambah kapasitas Krakatau Posco yang sekarang, dan penambahan pabrik baru. Dari 10 juta ton itu, POSCO Krakatau akan menghasilkan produk hot strip mill (HSM) 8,5 juta ton, 4,5 juta ton di antaranya dijadikan cold rolling mill (CRM). Sedangkan sisanya 1,5 juta ton dalam bentuk plat baja.
Untuk jadi HSM, bahan awalnya adalah slab. Kebutuhan slab ini diproduksi Krakatau Steel sebanyak 3 juta ton, Krakatau Posco 3 juta ton lewat tungku bertanur tinggi, dan sisanya lewat perluasan pabrik tadi yang pembangunannya ditargetkan rampung pada 2018. "Inilah gambaran besarnya yang disebut 10 juta ton dari sisi hulu sampai hilirnya," kata Sook Huh. Sedangkan kekurangan 1 juta ton bisa dipenuhi lewat memaksimalkan kapasitas produksi yang biasanya mencapai 120 persen.
Pabrik patungan Krakatau POSCO di Cilegon sudah beroperasi sejak 2014 lalu dengan target produksi 3 juta ton. Selama dua tahun itu, mereka selalu rugi. Berdasarkan laporan keuangan 2015, Krakatau POSCO membukukan rugi US$ 106,26 juta atau membengkak 49,76 persen dibandingkan tahun sebelumnya yakni sebesar US$ 70,95 juta. Meski demikian, POSCO tetap yakin melanjutkan investasi ini.
Menurut Seung Kyu, investasi suatu perusahaan bukan untuk jangka pendek. Dia mengatakan kerugian selama dua tahun ini karena mereka di pabrik Cilegon tidak membuat produk hilir. Padahal semakin ke hilir suatu produk semakin besar keuntungannya.
"Itulah makanya POSCO tetap berjalan untuk kluster 10 juta ton," ujar Seung Kyu. Selain tak punya produk hilir, penyebab lain kerugian adalah kondisi pasar global yang melemah.
Meski demikian, menurut Seung Kyu, pabrik di Cilegon, dari sisi kualitas, produktivitas, maupun biaya produksi sudah sama dengan pabrik POSCO di Gwangyang dan Pohang.
Pabrik di Gwangyang merupakan pabrik terbesar POSCO dengan kapasitas produksi mencapai 23 juta ton. Sedangkan pabrik Pohang mampu memproduksi baja hingga 17 juta ton. Namun, pabrik Gwangyang mendapatkan keuntungan paling top di tingkat global karena punya produk hilir.
"Krakatau POSCO sama, lebih baik malahan, tapi masih rugi karena tidak punya downstream," ujar Seung Kyu.
LINDA TRIANITA