TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menetapkan upah minimum provinsi (UMP) Jabar 2017 sebesar Rp 1.420.624,29. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Ferry Sofwan mengatakan dasar pengupahan itu merujuk Pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Penetapan dilakukan sejak 1 November sesuai dengan Keputusan Gubernur Jawa Barat No.561/kep.1070-bangsos/2016. "UMP Jabar 2017 ini sudah ditetapkan Gubernur Jabar sebesar Rp 1.420.624,29," katanya, Rabu (2 November 2016).
Ferry memastikan sebelum ditetapkan angka tersebut, Gubernur Jabar sudah membahas dengan perwakilan buruh. Meski ada penolakan jumlah, namun angka itu tetap harus ditandatangani sesuai surat edaran pemerintah pusat.
Dia menilai, kenaikan UMP 2017 tersebut sudah sangat proporsional, lantaran angka sudah disesuaikan dengan penghitungan inflasi pada September 2015 sampai September 2016. Dihitung oleh BPS, akhirnya ditetapkan kenaikan sebesar 3,07% ditambah dengan angka laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto sekitar 5,18%. "Kalau dijumlahkan dua komponen tersebut jadi 8,25 %, sehingga angka ini yang dipakai seluruh indonesia secara nasional baik oleh provinsi maupun kabupaten kota untuk penetapan upahnya," katanya.
Dia berharap, dewan pengupahan kabupaten/kota bisa segera memberikan rekomendasi terkait upah minimum daerahnya masing-masing sebelum Senin (21 November 2016) mendatang. Sebab nanti Gubernur akan kembali menetapkan besaran UMK di setiap daerah masing-masing. "Kita harapkan seluruh kabupaten/kota, sudah mengirimkan rekomendasinya dari awal. Jadi jangan mepet-mepet," ujarnya.
Ketua DPD Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jabar Roy Djinto mengatakan pihaknya bersama elemen buruh yang lain sepakat menolak besaran UMP tersebut. Dalam waktu dekat pihaknya akan mengajukan gugatan atas Surat Keputusan (SK) Gubernur atas penetapan UMP untuk tahun 2017 sebesar Rp 1,42 juta. "Upaya hukum yang akan kami lakukan adalah mem-PTUN-kan SK gubernur yang sudah resmi menetapkan keputusan tersebut," ujarnya.
Pihaknya menuding UMP yang telah resmi ditetapkan oleh Pemprov Jabar cacat hukum. Karena aturan yang digunakan sebagai acuan perhitungan upah tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yakni UU Nomor 13 Tahun 2003. “UMP tidak berdasarkan KHL, artinya ini bertentangan dengan UU 13/2003. "Dengan demikian kami menilai UMP cacat hukum," tuturnya.
Pemerintah menggunakan PP Nomor 78 Tahun 2015 sebagai acuan memutuskan besaran upah. Yakni dengan menghitung inflasi nasional ditambah pertumbuhan ekonomi. "Bahwa upah minimum harus ditetapkan berdasarkan KHL (kebutuhan hidup layak) sesuai UU Nomor 13/2003.
Roy menyebutkan gugatan ini akan diajukan menunggu penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) yang akan ditetapkan maksimal 21 November mendatang. Jika pemerintah kota/kabupaten juga mengikuti aturan berdasarkan PP 78, maka juga akan sekaligus digugat ke pengadilan." Setelah UMK tanggal 21 November mendatang, jadi sekaligus kalau ada yang tetap memaksakan sesuai PP kita akan PTUN-kan sekaligus UMK," ujarnya.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan berharap penetapan UMP ini diterima seluruh pihak. Menurut dia, ke depan tinggal memastikan besaran upah di daerah tidak kurang dari upah yang ditetapkan pihaknya."Bagi kita situasinya harus kondusif dan urusan penetapan UMP itu mudah. Kalau UMP kan sederhana, karena dia mengontrol upah yang terkecil. Jangan sampai ada upah di lapangan yang di bawah UMP," ujarnya. *