TEMPO.CO, Jakarta - International NGO Forum on Indonesian Development bersama Koalisi Perempuan Indonesia, Oxfam Indonesia, Ohana, dan Transparency International Indonesia, menggelar pertemuan nasional masyarakat sipil Indonesia untuk Sustainable Development Goals.
Acara ini digelar untuk memahami tantangan dan peluang pelaksanaan SDGs di Indonesia, pasca dikeluarkannya peraturan presiden tentang SDGs. Dalam pidato pembukaan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, menyampaikan prinsip dengan tema "no one left behind" (tak seorang pun ketinggalan) merupakan tantangan terbesar dilihat dari kondisi negara dengan jumlah ribuan pulau.
"Karenanya, SDGs ini adalah agenda pembangunan global yang ambisius," kata Bambang, dalam siaran tertulis, pada Kamis, 27 Oktober 2016.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri mengaku tengah melakukan penajaman prioritas, terutama dalam meningkatkan akses dan mutu pelatihan kerja ke semua pihak. Sebab, menurut dia, jumlah pengangguran perguruan tinggi meningkat karena lulusan hanya berorientasi menjadi akademisi.
"Kami menodorong pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, agar ada terobosan yang dapat meningkatkan kerja layak bagi mereka, yang tidak memiliki keterampilan dan modal, melalui optimalisasi Balai Latihan Kerja," ujar Hanif.
Peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, berpendapat setiap kementerian telah memiliki komitmen kuat untuk mendukung agenda dan pencapaian SDGs. Selain itu, dia juga menilai tahun kedua pemerintahan Joko Widodo lebih memperkuat peningkatan sumber daya manusia, sebagai respons atas tantangan bonus demografi yang berpengaruh positif terhadap pencapaian SDGs.
"Karenanya, kerjasama dan kemitraan strategis antara pemerintah dan kelompok masyarakat sipil sangat diperlukan baik dalam dukungan maupun kontrol untuk memenuhi target-target pencapaian goal SDGs," kata dia.
Pertemuan yang dihadiri beberapa perwakilan kementerian dan lembaga ini pun berhasil membuat sejumlah rumusan. Antara lain, perubahan paradigma pembangunan dengan pendekatan hak asasi manusia, dan memastikan peran negara dalam perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM bagi semua, tanpa terkecuali dan mewujudnya inklusi sosial.
Rumusan berikutnya, memastikan kebijakan dan tindakan khusus bagi kelompok rentan. Misalnya, disabilitas, kelompok adat, minoritas keyakinan, LGBT, perempuan, anak, remaja, kelompok miskin perkotaan, kelompok masyarakat terpencil, rentan mengalami diskriminasi, kekerasan dan penindasan, buruh migran, pembantu rumah tangga, dan kelompok penghayat.
Rumusan ketiga, adanya kurikulum yang berperspektif SDGs. Perlindungan lingkungan wilayah pesisir 3T (terdepan, terpencil, terluar). Menjamin kebebasan berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat. Menerapkan manajemen pembangunan berbasis risiko. Menjamin ketersediaan data yang terpilah, aksesibel, inklusif dan menerapkan pendataan yang partisipatif.
Negara, dalam rumusan kedelapan, harus menjamin ketersediaan dana untuk implementasi SDGs, meningkatkan kapasitas mobilisasi sumber daya dalam negeri (pajak dan nonpajak) sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap hutang luar negeri.
Kemudian, mengembangkan kemitraan setara di dalam negeri dan di tingkat internasional untuk mendukung implementasi dan pencapaian SDGs. Rumusan terakhir, Perlindungan masyarakat atas hak, akses dan control sumber daya alam, termasuk tanah.
FRISKI RIANA