TEMPO.CO, Jakarta - Rendahnya kesadaran petani kecil atas pentingnya legalitas lahan dan kepemilikan sertifikat lahan berdampak terhadap sulitnya perusahaan untuk menjalankan program replanting (penanaman kembali) pohon kelapa sawit.
Vice President Sinar Mas Agro Resources and Technology (PT SMART) Reza Andriansyah mengatakan, dalam replanting, ketiadaan status lahan petani memang menjadi hambatan terbesar bagi perusahaan-perusahaan yang ingin meremajakan kebun petani pemasok mereka. “Karena untuk dana replanting kan kami meminjam dari perbankan dan perbankan mensyaratkan adanya sertifikat lahan dari petani. Bahkan SKT yang diterbitkan oleh kepala desa pun mereka tidak punya,” ujar Reza di Jakarta, Kamis, 27 Oktober 2016.
Reza mengatakan perlu ada upaya turun tangan dari seluruh pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, akademikus, serta aktivis untuk menggerakkan kesadaran petani soal pentingnya kepemilikan sertifikat lahan. Hasil studi Research Centre for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia menunjukkan isu-isu keberlanjutan kelapa sawit belum menjadi perhatian pemilik perkebunan kecil dengan skala usaha 2-8 hektare.
Kepala tim peneliti RCCC UI, Sonny Mumbunan, mengatakan, meski pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan kelapa sawit menggembar-gemborkan pentingnya praktek keberlanjutan, petani belum menyadari manfaat yang mereka dapat dari skema tersebut. “Risiko dominan yang dianggap penting oleh petani adalah yang terkait dengan produksi dan pascapanen. Pupuk dan kekeringan adalah kata kunci yang dikhawatirkan petani. Sedangkan ketidakjelasan status lahan dan pembukaan lahan sawit ternyata termasuk risiko yang paling tidak penting,” ujar Sonny.
BISNIS