TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) tengah menyiapkan peraturan terbaru tentang penerbitan surat berharga komersial (SBK) atau commercial paper. Peraturan ini diharapkan dapat mendorong pendalaman pasar uang Indonesia, dan mengembangkan instrumen pendanaan.
"Dulu sudah ada aturannya di tahun 1995, lalu saat terjadi krisis moneter 1998 kepercayaan investor untuk membeli SBK menurun dan pasarnya sempat hilang," ujar Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, di sela seminar Surat Berharga Komersial, di Kompleks Bank Indonesia Thamrin, Jakarta, Senin, 24 Oktober 2016.
SBK adalah surat berharga jangka pendek yang diterbitkan oleh korporasi atau lembaga keuangan. Di luar negeri, tenor SBK yang diberikan adalah selama 270 hari atau 9 bulan. Sedangkan, BI berencana untuk menerbitkan peraturan tentang SBK dengan tenor selama 360 hari atau satu tahun.
Baca: RI Bisa Raup Rp500 Triliun dengan Jaga Gambut
Mirza berujar, SBK adalah instrumen yang lumrah di pasar keuangan, di mana korporasi atau lembaga keuangan menerbitkan surat utang. Penerbitan SBK diharapkan dapat membantu perolehan pendanaan dan peningkatan produktivitas korporasi atau lembaga keuangan.
"Sumber pendanaan di pasar uang Indonesia masih sangat terbatas, sehingga banyak perseroan sulit mendapat tambahan modal," ucap Mirza.
Menurut Mirza, instrumen pasar uang Indonesia saat ini masih sangat dangkal. Sementara itu, kebutuhan permodalan atau pendanaan untuk korporasi dan lembaga keuangan cukup besar. Penerbitan SBK jangka pendek ini pun menjadi opsi untuk menyediakan likuiditas.
Simak: KPPU Jamin Revisi UU Persaingan Usaha Tak Hambat Dunia Usaha
Untuk persiapan penerbitan aturan SBK ini, BI kini sedang mengkaji lebih dalam, salah satu prosesnya adalah menggelar Seminar SBK, pada hari ini. "Kami ingin dapat masukan dari pelaku, baik pakar hukum ekonomi, perbankan, korporasi, dan rating agency," kata Mirza.
GHOIDA RAHMAH