TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agus Hermanto menyebutkan dalam pengembangan panas bumi di Indonesia, setidaknya terdapat enam tantangan besar. Salah satunya adalah risiko pembiayaan dan investasi proyek panas bumi.
Menurut Agus, proyek panas bumi membutuhkan dana besar dan risiko yang tinggi. "Kedua hal itu sangat terkait dengan tahapan eksplorasi terutama kegiatan pengeboran sumur eksplorasi," kata Agus dalam sambutan di acara senior officials meeting bersama beberapa menteri Kabinet Kerja membahas potensi dan tantangan pengembangan panas bumi di Indonesia, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 24 Oktober 2016.
Politikus Partai Demokrat ini mengatakan estimasi biaya eksplorasi panas bumi di Indonesia mencapai 8-9 persen dari total biaya proyek. Untuk mengurangi resiko, pemerintah harus berperan di dalam tahapan eksplorasi baik dari segi pembiayaan maupun teknis. "Gunakan dana panas bumi yang dikelola PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dana hibah, pinjaman luar negeri dan PMN untuk BUMN," ucap Agus.
Baca: Politisi Gerindra: Kinerja Jokowi Baru Terlihat di 2019
Tantangan kedua adalah mekanisme pengelolaan wilayah kerja panas bumi. Agus menuturkan, pemerintah melakukan lelang terhadap pengembang yang ingin mendapat wilayah kerja panas bumi (WKP). Selain itu, dapat pula menugaskan salah satu BUMN untuk mengelola suatu wilayah itu.
Pemilik wilayah kerja dilarang melakukan kontrak operasi bersama dengan pemilik modal. Alasannya, beberapa dari kontrak tersebut pada akhirnya menimbulkan permasalahan. "Wilayah kerja tersebut tidak berjalan sesuai target bahkan banyak yang mangkrak sehingga menyia-nyiakan potensi yang ada," ucap Agus.
Agus menyarankan agar peraturan bersama Menteri ESDM, Menteri Keuangan dan Menteri BUMN pada 2013 yang mengatur status kepemilikan aset panas bumi yang berasal dan kontrak operasi bersama ditinjau kembali dan diperbaharui.
Selain itu, banyaknya WKP eksisting yang mangkrak, kata Agus, Kementerian ESDM seharusnya dapat mencabut izin wilayah kerja dari pengembang yang tidak melaksanakan kewajibannya selama ini sesuai dengan peraturan yang ada.
Baca: Panca Wira Usaha Kembangkan Properti dan Infrastruktur
Menurut Agus, penentuan harga jual beli listrik panas bumi menjadi tantangan ketiga. Harga listrik panas bumi sering menimbulkan masalah karena tidak ada titik temu harga antara PLN sebagai pembeli listrik dan pengembang.
"Kami mendorong percepatan rencana peraturan pemerintah mengenai pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung yang memuat model feed in tariff dengan rancangan skema fixed prices yang akan diatur melalui permen ESDM," kata Agus.
Tantangan keempat, mengenai pengadaan lahan dan lingkungan. Agus menuturkan, kegiatan panas bumi dapat dilakukan di wilayah hutan konservasi melalui izin pemanfaatan jasa lingkungan. "Saat ini, izin hanya diberikan untuk selain zona rimba dan inti."
Agus menambahkan potensi panas bumi sebagian besar ada di zona inti, sehingga harus ada standar prosedur untuk usulan perubahan zonasi.
Simak: 2 Tahun Jokowi-JK: Rapor Merah untuk Penanganan Kasus HAM
Tantangan kelima, terkait penelitian dan data sumber daya cadangan panas bumi. Agus menyarankan pemerintah agar bekerja sama dengan universitas, badan penelitian, konsultan ahli dan asosiasi dan membentuk pusat riset yang bertugas untuk melakukan studi kelayakan teknis, kajian regulasi dan ekonomi.
Keenam, koordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Hal ini sangat diperlukan untuk mengatasi isu sosial dan membangun kesadaran masyarakat tentang manfaat dan pentingnya proyek pengembangan panas bumi.
Senior officials meeting ini dihadiri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro.
AHMAD FAIZ