TEMPO.CO, Tasikmalaya - Deru mesin terdengar nyaring di halaman sebuah pabrik tenun tua di Jalan Muhammad Hatta, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa pagi, 18 Oktober 2016. Ketika masuk ke dalam pabrik, deretan mesin tenun kuno berjajar di salah satu ruangan. Mesin buatan 1950 itu masih beroperasi dengan baik.
"Pabrik berdiri tahun 1952," kata Kepala Pabrik Tenun Pusat Koperasi Kota/Kabupaten Tasikmalaya Syahidan mengawali perbincangan.
Dia menuturkan, dulu ada lima pabrik tenun di Tasikmalaya. Pabrik tenun milik Pusat Koperasi Kota/Kabupaten Tasikmalaya (PKKT) itu merupakan yang pertama berdiri dan terbesar. Kini, hanya tinggal pabrik tenun yang dipimpin Syahidan yang masih ada. "Semuanya sudah tidak ada. Sekarang hanya tinggal ini (pabrik milik koperasi)," ucap Syahidan mengenang masa itu.
Kini, pabrik tenun PKKT juga sudah terengah-engah dalam menjalankan roda bisnisnya. Alat produksi di pabrik ini sudah jauh tertinggal dengan mesin modern yang lebih canggih.
Baca juga:
Google Flight Akan Beri Notifikasi jika Tiket Murah Tersedia
Artis-artis di Belakang Calon Gubernur DKI Jakarta
Syahidan berujar, mesin tenun “buhun” di pabriknya hanya menghasilkan 60 meter kain tenun dalam satu minggu. Sedangkan alat modern, cukup satu jam menghasilkan kain 60 meter. Karena tingkat produksi yang kecil, pesanan pun berkurang. "(Kondisi pabrik) justru megap-megap. Mesin di sini buatan 1950. Seharusnya tiap 5 tahun mesin diganti," katanya.
Kondisi tersebut diperparah dengan serbuan kain tenun dari Negara Cina. Kain dari negara tersebut harganya jauh lebih murah. "Dulu kami ada pesanan kain sorban dan sarung. Kini tak ada lagi. Kami tidak bisa bersaing," tutur Syahidan.
Dia melanjutkan, saat ini pabriknya hanya memproduksi polosan atau kain putih polos. Kain tersebut nantinya akan diolah lagi oleh si pembeli. "Kayaknya bukan untuk dibuat sarung, mungkin untuk kerajinan," katanya.
Pada masa kejayaan, ada 48 mesin tenun yang beroperasi. Sekarang tinggal 46 mesin yang jalan, dua mesin sudah rusak. "Belum pernah diremajakan. Semuanya manual," kata Syahidan.
Ihwal gaji karyawan pun, dia mengaku kesulitan membayarnya sesuai dengan undang-undang atau UMR. Dalam sebulan, pendapatan pabrik tidak sampai Rp 40 juta. Sementara pengeluarannya Rp 30 juta. "Di sini ada 45 karyawan," ucapnya.
Para karyawan mayoritas warga sekitar. Usianya pun sesuai dengan mesin-mesin tenun alias sudah tua. "Mau pindah ke bidang lain susah," kata Syahidan.
Salah seorang karyawan, Titi, mengaku sudah 20 tahun bekerja di pabrik ini. Dia hanya mendapat gaji Rp 50-60 ribu setiap minggu. "Saya tidak ada pekerjaan dan keterampilan lain," katanya.
Syahidan selalu berbicara kepada karyawan bahwa kondisi pabrik seperti itu. Satu hal yang membuat Syahidan dan karyawannya terus bertahan adalah nilai sejarah pabrik tenun dan Pusat Koperasi Kota/Kabupaten Tasikmalaya.
Bangunan pabrik masih asli, tidak diubah sedikit pun. "Di tempat ini Kongres Koperasi yang pertama berlangsung," ujar Syahidan dengan bangga.
Mengingat nilai sejarahnya, dia meminta pemerintah melestarikan pabrik tenun dan koperasi tersebut. Dia juga memohon ada bantuan untuk penggantian mesin supaya kembali bisa bersaing dengan pabrik lain. "Kami yang pertama dan terakhir. Harus dipertahankan," tuturnya.
CANDRA NUGRAHA