TEMPO.CO, Jakarta - Penguatan mata uang rupiah merupakan efek positif dari program amnesti pajak (tax amnesty).
"Ini sentimen pasar merespons keberhasilan amnesti pajak. Ini tergantung dari momentum tersebut apakah bisa dijaga oleh pemerintah," kata ekonom dari Universitas Diponegoro, Akhmad Syakir Kurnia, di Semarang, Jumat, 14 Oktober 2016.
Akhmad mengatakan amnesti pajak tahap pertama sudah selesai dilaksanakan sedangkan tahap kedua baru dimulai awal bulan ini. Selanjutnya, amnesti pajak akan dilaksanakan hingga Maret 2017.
"Keberhasilan amnesti pajak pada tahap pertama ini telah memberikan sinyal positif. Diharapkan kondisi ini dapat bertahan hingga akhir program tersebut dilaksanakan," ujar Akhmad.
Dengan penguatan mata uang rupiah tersebut artinya upaya dari sisi domestik bisa tercapai. Meski demikian, penguatan mata uang juga dipengaruhi faktor eksternal, yaitu kondisi ekonomi global.
"Untuk mengurangi dampak dari ekonomi global ini akan tercipta keseimbangan baru, salah satunya adalah Indonesia harus mengurangi ketergantungan luar negeri," kata Akhmad.
Seperti misalnya Singapura, selama ini Indonesia banyak melakukan ekspor barang ke negara lain melalui Singapura. Padahal, Singapura bukan merupakan negara pengguna produk dari Indonesia.
"Sebagai upaya mencari keseimbangan baru ini diharapkan bisa menjadi momentum Indonesia untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap negara lain," katanya.
Meski demikian, kondisi tersebut tidak akan sepenuhnya efektif mengingat Indonesia juga harus melakukan ekspor ke negara lain.
"Bagaimanapun juga Indonesia harus melakukan ekspor, dengan kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya membaik pasti terjadi penurunan permintaan dari negara lain. Kondisi ini yang berakibat buruk pada nilai tukar rupiah," ujar Akhmad.