Berbeda dengan kredit ke perbankan yang dianggap berbelit-belit. Seperti menyediakan surat ijin usaha, kartu keluarga, dan syarat administrasi lainnya. Padahal hanya sepelemparan batu dari dermaga berdiri sebuah kantor unit Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang buka saban hari. “Saya tak pernah ke bank, urusannya jadi ribet,” ucapnya.
Pemilik kapal, katanya, memiliki bagian separuh dari hasil tangkapan. Sementara selebihnya dibagi rata dengan seluruh anak buah kapal. Jika musim ikan, Slamet pernah mendapat penghasilan sekitar Rp 30 juta sekali melaut. Sedangkan saat musim paceklik mereka harus gigit jari tak ada pemasukan sama sekali.
Contohnya sekarang, kala musim paceklik. Sebagian nelayan beralih bekerja sebagai ojek, kuli bangunan, dan buruh tani untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan nelayan asal luar Malang seperti Makassar, Balikpapan, Probolinggo, dan Madura memilih pulang ke kampung halamanannya. Sekitar 40 persen nelayan merupakan warga pendatang.
Saat Tempo singgah ke sana, ratusan kapal nelayan bersandar di dermaga. Tak banyak aktivitas nelayan yang melaut mencari ikan tuna. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pondok Dadap tampak sepi. Sejumlah pekerja duduk tercenung. Mereka bercengkerama atau sekedar bermain telepon pintar untuk menhilangkan kebosanan.
Sejak pagi, tak banyak transaksi jual beli ikan tuna. Hanya sekitar tiga kapal yang bongkar muat barang dan melelang ikan hasil tangkapannya.
Umar Hasan, salah seorang pengambek mengatakan tak banyak ikan yang dihasilkan hari ini. Hanya nelayan pemberani, katanya, yang nekat melaut mencari ikan. Dari total 1000 kapal nelayan, hanya 10 persen yang melaut. Selebihnya tetap berdiam diri di Sendang Biru. “Cuma dapat empat ton ikan tuna,” katanya.
Tak heran, harga ikan tuna melonjak dari Rp 8 ribu per kilogram jadi Rp 15 ribu. Padahal saat musim ikan, setiap hari tak kurang dari 50 ton sampai 100 ton ikan tuna masuk ke TPI Pondok Dadap.
Umar menjelaskan, nelayan dan pengambek sebenarnya mitra yang saling membutuhkan dalam bisnis ikan tangkap di Sendang Biru. “Tak ada perjanjian, hanya saling kepercayaan,” katanya.
Pinjaman untuk para nelayan, kata dia, tak cuma-cuma. Pengambek mendapat keuntungan lima persen dari hasil penjualan ikan hasil tangkapan. Ikan yang dihasilkan para nelayan juga langsung dibeli pengambek. Setiap musim pengambek memberikan ikatan berupa modal usaha atau biaya operasional. Untuk kapal sekoci sebesar Rp 30-50 juta sedangkan untuk kapal slerek Rp 150-200 juta.
Uang perikatan itu digunakan untuk membeli alat tangkap, membeli es dan solar selama satu musim atau tujuh bulan. Seorang pengambek bisa menangani antara 30-50 kapal. Ikan hasil tangkapan nelayan harus dijual kepada masing-masing pengambek, tak bisa dijual ke pihak lain.
Padahal sekitar 25 persen ikan tuna hasil tangkapan nelayan dipasok ke industri untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke Jepang dan Eropa. Terutama untuk ikan tuna segar berdaging merah yang berbobot antara 30-80 kilogram per ekor.