TEMPO.CO, Semarang - Pakar transportasi dan angkutan jalan raya Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno merekomendasikan agar Pemerintah tegas terhadap angkutan umum berbasis aplikasi tehknologi infomasi seperti Go Jek, Go Car, dan sejenisnya. Dia menilai selama ini, Kementerian Perhubungan terlalu sibuk urus transportasi aplikasi, tapi lupa dengan transportasi umum dan konektivitas antarmoda.
“Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemenhub 2014-2019, hanya ada ada dua isu strategis yang harus dikerjakan Kemenhub, yakni membangun konektivitas nasional untuk mencapai keseimbangan membangun transportasi massal perkotaan,” kata Djoko Setijowarno, Minggu 9 Oktober 2016.
Djoko menyarankan pemerintah memberi dua pilihan kepada pengelola angkutan taksi aplikasi, yakni mengikuti aturan atau dilarang sama sekali. “Jika tidak mau ikuti aturan yang sudah ada, ya disanksi tegas,” ujarnya.
Dia menyebutkan, kini terdapat sekitar 20 kota di Indonesia yang sudah menghadirkan bus rapid transit (BRT). Namun, hasilnya masih jauh dari harapan sebagai layanan publik. Baru berkutat soal jumlah armada bus dan koridor yang dilayani, belum pada tahap pelayanan sesuai standar pelayanan minimum versi Kemenhub 2015. “Yang terjadi saat ini, BRT rasa angkot, masih gunakan karcis kertas dengan pembayaran langsung sehingga masih ada celah korupsi,” kata dia.
Menurut dia, program BRT yang telah berjalan 10 tahun lebih tidak mendorong pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum. “Malah menambah kemacetan kota dengan armada BRT,” ujarnya.
Dia menganalisis, jika akhir 2017 kebijakan angkutan umum belum tercapai, dapat dipastikan program transportasi umum di daerah sebagai program nasional Presiden itu akan gagal. “Itu membuktikan tawaran industri otomotif lebih menggiurkan ketimbang memikirkan kepentingan masyarakat terhadap layanan angkutan umum yang humanis,” pungkasnya.
EDI FAISOL