TEMPO.CO, Surabaya -- Penolakan atas sistem performa yang diterapkan PT Go-jek Indonesia berujung pada demo ratusan sopir Go-jek di Jakarta, Senin 3 Oktober 2016 lalu. Meski tidak berlangsung demo serupa di Surabaya, atas nama solidaritas sesama mitra, sopir Go-jek Surabaya mogok kerja pada hari yang sama.
Hendro, 36, mengatakan sistem performa yang diberlakukan tidak memihak pada pekerja. Menurut dia, kurangnya tansparansi serta kejelasan penilaian oleh pihak perusahaan terhadap kerja driver membuatnya seolah dicurangi.
“Sistem ini kurang transparan, nggak tahu kenapa nilainya turun. Padalan semua orderan sudah dikerjakan, waktu dicek performa malah jelek,” tutur Hendro kepada Tempo, Selasa 4 Oktober 2016.
Baca juga:
Bos Go-Jek dan Perwakilan Pengemudi Bertemu, Hasilnya Nihil
Go-Jek Dikabarkan Dapat Suntikan Dana Rp 7,23 Triliun
Sesekali ia melihat ponsel di tangannya, memeriksa apakah ada yang ingin memesan jasa antarnya. Hendro mengeluhkan sistem aplikasi Go-jek juga sering error. Dia khawatir, jika kerja sistem tidak diperbaiki akan berpengaruh pada performa driver, sehingga bonus akan sulit di dapat. “Kami seperti kerja bakti, belum tentu dapat bonus.”
Hendro menjelaskan alasan sopir Go-jek tak mengadakan unjuk rasa seperti halnya di Jakarta. Rekan-rekannya, kata dia, memilih menunggu hasil keputusan demo. Menurut dia, aksi serupa pernah beberapa kali dilakukan di Surabaya dengan tuntutan yang kurang lebih sama. Tapi tidak mendapat respon apa-apa. Sehingga, aksi mogok cari penumpang dipilih sebagai aksi solidaritas sesama pekerja.
“Kalau demo, orang-orang itu mungkin sudah kecewa, nggak ada tindak lanjutnya. Jadi ya nunggu saja dari Jakarta,” tutur dia.
Muslich, 43, berpendapat senada. Dia berharap ada hasil baik dari pertemuan driver Go-jek di Jakarta dengan pihak manajemen. “Solidaritaslah, kan namanya temen. Lagipula kalau sistemnya gini terus, ya kami sengsara,” dia mengeluh.
Baca juga:
Ini Cara Anggota Dimas Kanjeng Tawarkan Program Pesugihan
Dahlan Iskan Dikaitkan dengan Dimas Kanjeng, Ini Ceritanya
Lain halnya dengan Fandi, 26, yang memilih tetap menerima pesanan meski teman-temannya mogok kerja pada Senin lalu. Alasannya, dia takut tidak ada pemasukan sama sekali. Meski begitu, Fandi mengaku sempat beberapa kali menolak pesanan pada waktu demo Go-jek di Surabaya beberapa waktu sebelumnya. Selama dua hari, dia memutuskan untuk mogok kerja dan tidak menerima order sama sekali.
“Kapan hari demo juga percuma, nggak ada respon dari manajemen,” kata Fandi.
Toh, Fandi berharap ada perubahan dalam kebijakan tarif yang rasional bagi seluruh sopik Go-jek. Adanya penurunan tarif harga menjadi Rp 2.000 per kilometer, kata dia, otomatis mengurangi jumlah pendapatan. “Kalau nganter makanan, parkir kami juga yang bayarin. Dapetnya sedikit,” ujarnya.
Di Jakarta, CEO Go-Jek Nadiem Makarim berjanji akan mengkaji kembali kebijakan perusahaan, termasuk penerapan sistem performa yang diprotes para pengemudinya. "Tidak ada keputusan mengenai hal spesifik, performa atau tuntutan-tuntutan lain dari driver. Tetapi, itu adalah on going dialog. Dalam dua minggu ke depan, saya akan menganalisa, mengkaji lagi kebijakan-kebijakan ini," ujar Nadiem usai bertemu dengan puluhan pengemudi Go-Jek di Biro Operasi Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa sore 4 Oktober 2016.
Baca juga:
Ini 4 Penyebab Tren Elektabilitas Ahok Terus Menurun
Ini Alasan Pengikut Dimas Kanjeng Enggan Balik ke Rumah
Setelah mengkaji selama dua minggu, Nadiem melanjutkan, pihaknya akan menemui para pengemudinya untuk memberi penjelasan. Dia mengatakan sekalipun pertemuan tidak membahas satu pun tuntutan pengemudi, namun setidaknya pihak manajemen bisa mengetahui keluhan mereka.
"Dialog-dialog seperti ini harus dilakukan lebih sering. Biar manajemen juga bisa dapat lebih banyak informasi dan para driver bisa mengekspresikan dirinya langsung pada manajemen," kata dia.
Nadiem berharap ke depannya para pengemudi tak lagi melakukan demonstrasi untuk menyuarakan aspirasinya, namun memilih dialog.
WULAN GOESTIE | NIEKE INDRIETTA | ANTARA