TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan perbankan yang tercatat sebagai bank persepsi program pengampunan pajak atau tax amnesty juga ikut memperpanjang jam kerja operasionalnya. Sebanyak 76 bank persepsi lembur hingga enam jam sampai pukul 21.00 WIB pada Jumat lalu.
Hal ini dilakukan berdasarkan permintaan Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka mengakomodasi membeludaknya jumlah wajib pajak yang ingin berpartisipasi di hari terakhir periode pertama tax amnesty pada Jumat lalu. Periode pertama pengampunan pajak ini menawarkan skema tebusan dua persen.
"Seluruh perbankan bank persepsi buka melayani orang yang ingin membayar uang tebusan," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama, di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Gatot Soebroto, Jakarta, Jumat, 30 September 2016.
Yoga mengatakan waktu normal pelayanan pembayaran pajak di perbankan setiap hari kerja biasanya berakhir pada pukul 15.00 WIB. Dengan adanya penambahan jam operasional pelayanan perbankan untuk tax amnesty khusus kemarin, diharapkan bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh wajib pajak.
"Kan ada juga yang hari ini (kemarin), baru ngurus terus bayar tebusannya malam," kata Yoga. Karena itu, pemerintah pun meminta perbankan ikut mendukung program tax amnesty ini seoptimal mungkin.
Yoga menegaskan untuk mendapatkan slot periode pertama tax amnesty dengan tebusan dua persen masih akan ditunggu hingga tadi malam. Untuk itu, wajib pajak harus menyerahkan surat penyerahan harta (SPH)-nya kemarin.
Jika lewat dari pukul 21.00 WIB itu, kata Yoga, sudah terhitung masuk ke periode kedua program tax amnesty dengan nilai tebusan tiga persen. "Pokoknya datang, dapat tanda terima dulu."
Soal masih ada wajib pajak besar, seperti juga para pengusaha yang baru akan ikut program tax amnesty di menit-menit terakhir kemarin, Yoga menduga karena masih ada kendala administrasi dan inventarisasi aset dengan jumlah besar yang memakan waktu cukup lama. "Last minute karena asetnya banyak, ribuan jenis, tempatnya juga bisa di berbagai kota dan negara."
GHOIDA RAHMAH