TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Toni Tanduk menilai kualitas garam lokal Indonesia masih sangat rendah dengan impuritis (kotoran) tinggi.
"Hasil produksi garam lokal hanya dapat digunakan untuk konsumsi, sedangkan untuk industri belum dapat karena kualitasnya rendah," kata Toni dalam diskusi ekonomi mengenai garam di Jakarta, Senin, 26 September 2016.
Menurut Toni saat ini industri nasional berbahan baku garam dalam keadaan yang tidak stabil. Dia mengatakan, beberapa kebijakan impor garam sedang dikaji ulang.
AIPGI mengusulkan agar pemerintah melakukan percepatan produksi garam melalui program ekstensifikasi di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Menurut Toni, daerah tersebut merupakan kantong produksi garam di Indonesia.
Dia juga menyarankan membentuk tim pengawas untuk produksi dalam negeri. Dua komponen penting dalam garam adalah natrium dan klorida. "Di Indonesia, penggunaan natrium paling besar," ujar Toni.
Toni mengimbuhkan industri pangan di Indonesia membutuhkan 450 ribu ton garam per tahun. "Bisnis pengolahan garam adalah bisnis yang miliaran dollar. Memang isu ini menjadi sensitif ketika dikaitkan dengan hasil garam lokal kita," kata Toni.
Industri petrokimia, kata dia, merupakan pengguna garam terbesar. "Seperti pembalut wanita, popok bayi, menggunakan komponen garam," jelas Toni. "Tercatat, rata-rata industri kimia menggunakan 2,03 juta ton garam per tahun."
CHITRA PARAMAESTI