TEMPO.CO, Jakarta - Harga cengkeh yang anjlok hingga Rp 75 ribu per kilogram membuat para petani yang telah memanen cengkeh di Desa Tirongkotua dan Rahadopi Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, enggan untuk menjualnya.
"Kami tidak akan menjual cengkeh hingga harga bisa lebih mahal minimal sama dengan tahun sebelumnya," kata Lahadi, 59 tahun, petani cengkeh di Desa Tirongkotua, Senin, 26 September 2016.
Menurut Lahadi, dengan harga cengkeh sebesar Rp75 ribu petani sangat merugi sebab telah mengeluarkan banyak biaya hingga musim panen tiba. "Mulai dari pemeliharaan hingga upah pemetik, biayanya cukup tinggi," ujar Lahadi.
Khusus untuk upah pemetik cengkeh, kata dia, pihaknya harus mengeluarkan dana minimal Rp 10 ribu per liter basah. " Untuk mencapai 1 kilogram cengkeh kering itu, setara dengan 4 hingga 5 liter cengkeh basah," katanya.
Sementara itu, Hj. Sarina, 45 tahun, pedagang pengumpul cengkeh di Kabaena, mengaku bila tahun ini petani cengkeh tidak mau menjual hasil panennya. "Kalaupun ada yang menjual hasil panen cengkehnya, itu karena membutuhkan dana praktis untuk membiayai anak-anak mereka yang sekolah baik di jenjang pendidikan dasar maupun yang di perguruan tinggi," urai Sarina.
Menurut Najamuddin, 56 tahun, pedagang pengumpul cengkeh di Desa Rahadopi, harga cengkeh anjlok itu dimungkinkan karena merebaknya wacana kenaikan harga rokok yang mencapai Rp 50 ribu per bungkus.
"Tahun sebelumnya, petani cengkeh masih dapat menikmati hasil panennya sebab harganya mencapai Rp 175 ribu hingga Rp 250 ribu per kilogram, tapi kali ini sungguh sangat anjlok seiring adanya wacana kenaikan harga rokok," ungkapnya.
Oleh karena itu, baik petani maupun pedagang pengumpul di Kabaena berharap agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya di sektor pertanian.
ANTARA