TEMPO.CO, Jakarta - Seluruh pemangku kepentingan di bidang pariwisata didorong untuk mengembangkan gastronomi sebagai upaya perluasan produk wisata.
Asisten Deputi Pengembangan Destinasi Wisata Budaya Kemenpar Lokot Ahmad Enda mengatakan Indonesia terbilang terlambat dalam pengembangan wisata gastronomi yang telah lebih dulu dilakukan negara-negara pesaing, seperti Thailand dan Malaysia.
"Gastronomi ini mirip seperti pengembangan wisata halal, sering dibicarakan tetapi tidak langsung dieksekusi. Namun sekarang kita akan memulai pengembangan potensi gastronomi," katanya di Jakarta, Kamis 22 September 2016.
Lokot menjelaskan gastronomi yakni sebuah pengalaman berwisata yang dibentuk oleh makanan dan keaslian budaya lokal.
Bila mengacu pada pengertian tersebut, potensi wisata gastronomi di Indonesia sangat kaya, sebab setiap daerah memiliki kekhasan sendiri dalam hal asal muasal makanan, cara pengolahan, hingga sejarah di balik tiap jenis makanan.
"Dengan mengembangkan gastronomi, kita akan sekaligus mengembangkan keunikan daerah. Ini akan bagus juga sebab hampir 60% pengeluaran wisatawan adalah untuk wisata kuliner dan belanja," katanya.
Pada tahun ini fokus pengembangan wisata gastronomi akan dimulai dari Bali, tepatnya di Ubud. Wilayah ini dipilih lantaran dinilai sudah lebih siap, baik dari segi infrastruktur, amenitas, hingga produk kuliner dan sumber daya manusia.
"Bali dipilih karena kita tidak mau mulai dari nol, karena membangun Bali yang baru butuh waktu 5-10 tahun. Sementara di Bali sekarang sudah lebih siap sehingga upaya promosi Indonesia sebagai destinasi gastronomi di tingkat global akan lebih cepat," ujarnya.
Indonesia menargetkan pada 2017 Bali dapat masuk dalam jaringan gastronomi tourism destination di bawah UNWTO.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Didien Junaedi menuturkan pengembangan tersebut harus dilakukan secara terarah dengan tujuan yang jelas. Menurutnya, Indonesia selama ini kalah cepat dari negara pesaing mengembangkan produk wisata gastronomi ini lantaran sesama pemangku kepentingan belum kompak.
"Kita ada jurusan gastronomi di kampus seperti Trisaksi, tetapi tidak terlalu diungkap ke publik. Padahal ini penting sebagai bagian dari pengkayaan produk pariwisata," ujarnya.
Didien berharap pemerintah daerah mulai turut mengembangkan wisata gastronomi yang dikemas dengan baik sehingga memiliki nilai jual.
"Banyak bupati dan gubernur yang selalu bilang di daerahnya ada ini dan itu, padahal itu cuma potensi dan tidak ada artinya kalau belum jadi produk. Ini tugas pemda membuat produk yang layak dijual ke pasar," katanya.
Sebagai langkah awal menggaungkan wisata gastronomi, Kemenpar mendukung penyelenggaraan Tourism Gastronomy Destination International Conference (TGDIC) yang akan digelar di Jakarta Convention Center, Jakarta, pada 14-15 November 2016.
Konferensi yang diinisiasi STP Trisakti itu diharapkan dapat memberikan masukan bagi industri gastronomi melalui diskusi interaktif yang melibatkan stakeholer terkait.
Zayyini Nahdlah, dosen pengajar gastronomi dari Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Trisakti, menuturkan gastronomi lebih kompleks dari wisata kuliner sebab mencakup aspek budaya hingga sejarah yang berkaitan dengan makanan.
Bahkan, ada juga bidang molecular gastronomy yang memadukan unsur fisika dan kimia serta seni dalam proses pengolahan makanan.
"Kalau gastronomi di Perancis dan Spanyol yang saat ini berkembang, chefnya tidak hanya mengolah makanan, tetapi lebih dari itu mencari sumber makanan yang sehat. Makanya Indonesia sangat cocok menjadi kota gastronomi karena makanan di daerah-daerah sangat sehat," tutur Zayyini.