TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah membuka kemungkinan para peserta program pengampunan pajak (tax amnesty) mendeklarasikan hartanya di special purpose vehicle (SPV) yang dimiliki. Tanpa harus membubarkan SPV tersebut, para wajib pajak itu hanya dikenai tarif deklarasi yang lebih tinggi seperti yang diterapkan di luar negeri.
Staf Ahli Kebijakan Penerimaan Negara Kementerian Keuangan Astera Primanto
Bhakti mengatakan hal tersebut diperbolehkan karena keberadaan SPV masih sangat penting. Masih terdapat wajib pajak yang membutuhkan SPV tersebut untuk kegiatan-kegiatannya di masa mendatang.
Untuk itu, pemerintah mengakomodasi kebutuhan tersebut. “Kami akan keluarkan perbaikannya (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127 Tahun 2016). Ini sudah tahap final," kata Prima di kantornya, Rabu, 21 September 2016.
Dalam revisi PMK tersebut, menurut Prima, peserta tax amnesty yang tidak ingin membubarkan SPV miliknya tetap diperbolehkan mengikuti program tersebut. "Tapi dikenai tarif deklarasi luar negeri. Kami anggap kepemilikan dari aset yang dideklarasi adalah harta yang berada di SPV-nya," katanya.
Prima mencontohkan, terdapat SPV yang dibuat dua pihak yang bekerja sama, tapi ternyata salah satunya tidak mau ikut tax amnesty. “Kalau begini, kan, bisa berantem. Mungkin juga ada perusahaan yang ingin menggunakan SPV-nya untuk financing project lain. Jadi jangan sampai ini menghambat pelaksanaan tax amnesty."
Awal September lalu, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127 Tahun 2016 tentang program tax amnesty bagi SPV diterbitkan. SPV merupakan perusahaan yang didirikan semata-mata untuk menjalankan fungsi khusus sesuai dengan kepentingan pendirinya dan sudah tidak melakukan kegiatan usaha aktif.
Peraturan itu menyebutkan, apabila wajib pajak mengungkapkan harta yang dimilikinya dalam SPV melalui program tax amnesty, wajib pajak tersebut harus membubarkan SPV-nya itu atau mengalihkan hak kepemilikannya atas harta tersebut. "Kalau dia sudah declare, sebenarnya fungsi SPV juga sudah tidak ada lagi," kata Prima.
ANGELINA ANJAR SAWITRI