TEMPO.CO, Yogyakarta-Penguasa tradisional kedua di Yogyakarta, Pura Pakualaman, mendapat pembayaran ganti rugi paling besar dari lahannya di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang akan dibangun bandara baru di atasnya.
Kepala Badan Pertanahan Nasional DIY Arie Yuwirin menuturkan dari total pembayaran Rp 4,1 triliun yang disediakan PT. Angkasa Pura 1 untuk lahan calon bandara itu di dalamnya memang termasuk untuk pembayaran tanah Pakualaman Ground yang luasnya sekitar 160 hektar dari luasan total kebutuhan lahan bandara sekitar 537 hektar. “Untuk tanah Pakualaman nilainya sekitar Rp 727 miliar,” kata Arie.
Besarnya nilai ganti rugi itu membuat petani penggarap di atas lahan Pakualaman Ground itu menuntut tali asih kepada Pura Pakualaman lewat sejumlah aksi protes. Petani menuntut Pakualaman memberikan sepertiga dari ganti rugi yang diterima dari pembangun bandara, PT Angkasa Pura I, yakni sebesar Rp 727 miliar.
Tuntutan itu akan dipenuhi Pakualaman. “Dari Sri Paduka (Pakualam X) sudah menyatakan akan memberi tali asih, hal itu sudah dipikirkan dan dibahas,” ujar Ketua Trah Pakualaman 'Hudyana' Kanjeng Pangeran Hario Kusumoparastho kepada Tempo Ahad 18 September 2016.
Kusumo menegaskan, besaran tali asih itu menjadi kewenangan Pakualaman memutuskannya. “Puluhan tahun menggarap lahan itu, para petani selama ini kan juga tidak diwajibkan memberikan apapun, intinya kami tetap memberikan tali asih tapi belum bisa menentukan besarannya,” ujarnya. Pakualaman belum pernah menemui petani membicarakan soal tali asih itu.
Ketua paguyuban petani penggarap lahan Pakualaman yang tergabung dalam Forum Komunikasi Petani Penggarap Lahan Pesisir (FKPPLP) Sumantoyo menuturkan, tingginya harga jual tanah Pakualaman untuk bandara baru Kulonprogo tak lain berkat keringat para petani penggarap yang berhasil mengubah lahan kritis itu menjadi lahan produktif. Sebelum digarap petani di tahun 1970 an, lahan itu tandus tak bisa ditanami.
“Dari petani berharap setidaknya sepertiga bagian pembayaran (untuk Pakualaman) itu bisa menjadi tali asih petani yang selama ini membuat lahan itu jadi produktif,” ujar Sumantoyo.
Di antara warga yang kini sedang menerima pembayaran lahan dari PT. Angkasa Pura I, hanya petani penggarap yang tak mendapatkan kompensasi apapun selain tanaman yang ditanam yang harganya sangat kecil. Sumantoyo menyebut, saat ini 885 kepala keluarga yang menggarap lahan Pakualaman Ground masih melakukan aktivitas biasa di lahan itu. “Kami hanya ingin kejelasan Puro Pakualaman, berapa sebenarnya yang akan diberikan kepada petani? Ini bukan soal ada tidanya tali asih saja, tapi selama ini yang ngopeni lahan itu jadi produktif kan petani penggarap,” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO