TEMPO.CO, Jakarta - Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) diprediksi akan tetap bearish dan melanjutkan penurunan di bawah US$ 44 per barel dan dapat membuka jalan menuju US$ 40 per barel.
Research Analyst FXTM Lukman Otunuga mengatakan kendala yang dihadapi minyak mentah adalah masalah kelebihan pasokan yang serius di pasar global. Selain itu, ia mengatakan, semakin pudarnya harapan kesepakatan atas pembekuan level produksi di rapat informal OPEC pada September terus membatasi peningkatan harga komoditas ini.
"Persediaan minyak mentah meningkat tanpa terbendung sehingga harga minyak dapat diprediksi semakin melemah di jangka yang lebih panjang saat investor bearish memanfaatkan koreksi saat ini untuk menggelar aksi jual besar-besaran," ujarnya dalam surat elektronik, Selasa, 6 September 2016.
Dalam perdagangan Selasa, 6 September 2016, pukul 19.30, harga minyak mentah West Texas Intermediate turun 0,09 poin atau 0,4 persen menjadi US$ 44,49 per barel. Harga minyak mentah WTI pada Senin sempat meningkat di atas US$ 45 per barel. Menurut dia, kondisi tersebut bukan disebabkan oleh membaiknya sentimen terhadap minyak, namun karena dolar melemah yang disebabkan semakin turunnya ekspektasi peningkatan suku bunga AS.
Walaupun harga minyak berpotensi semakin menguat di jangka pendek karena alasan yang sama, komoditas ini tetap bearish secara fundamental. Harga minyak mentah menahan penguatan, menyusul pembicaraan antara Rusia dan Arab Saudi mengenai usaha menstabilkan pasar minyak tidak membahas pembekuan output.
WTI sebelumnya sempat menguat hingga 4,7 persen sebelum pernyataan yang dinilai "signifikan" oleh Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al-Falih di KTT G-20 di Cina. Meskipun tidak ada kebutuhan untuk membekukan produksi sekarang, Al-Falih mengatakan ia optimistis pertemuan akhir bulan ini antara produsen di Aljir berujung pada kesepakatan.
Sementara itu, Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan kedua negara sedang mencari cara untuk mengurangi volatilitas pasar minyak.
BISNIS.COM