TEMPO.CO, Depok - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tax amnesty atau pengampunan pajak bukan teror kepada rakyat. Menurut dia, amnesti pajak juga bukan sesuatu yang menyeramkan, sebagaimana digambarkan beberapa pihak di berbagai media sosial.
"Apalagi kalau sampai dianggap sebagai salah satu jenis pelanggaran hak asasi manusia. Jauh dari itu," ucap Sri Mulyani setelah menjadi pembicara dalam seminar tentang pengampunan pajak di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis, 1 September 2016.
Sri Mulyani menjelaskan, pengampunan pajak merupakan hak masyarakat pembayar pajak. Namun rakyat juga bisa tidak mengikuti program pengampunan pajak, seperti mereka yang penghasilannya di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yakni petani, nelayan, dan pensiunan yang penghasilannya dari uang pensiun.
Selain itu, yang tidak mesti mengikuti amnesti pajak adalah orang yang tinggal di luar negeri selama lebih dari 183 hari dalam setahun dan tidak mempunyai penghasilan di dalam negeri; mereka yang memiliki harta warisan yang belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan tapi tidak memiliki penghasilan di dalam negeri; dan yang memiliki harta berupa hibah yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan tapi tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah PTKP. "Atau orang itu memilih melakukan membetulkan SPT tahunan," ujarnya.
Baca juga:
Wabah Zika sampai di Singapura, Ini Cara Pencegahannya
Foto Instagram Sudah Bisa Di-Zoom
Untuk usaha mikro, kecil, dan menengah dengan jumlah omzet Rp 4,8 miliar setahun atau memiliki aset Rp 100 miliar sudah semestinya mengikuti ketentuan pajak. "Jadi yang bukan kelompok itu tidak perlu melakukan amnesti pajak," tutur Sri Mulyani.
Yang termasuk aset adalah rumah, tabungan, deposito, mobil, saham perusahaan, dan reksa dana. Namun barang elektronik yang harganya wajar, seperti televisi, kulkas, dan mesin cuci, tidak perlu dimasukkan.
"Tapi, kalau harga elektroniknya ratusan juta, bahkan sampai miliar, itu menjadi aset yang dimasukkan," tutur Sri Mulyani.
IMAM HAMDI