TEMPO.CO, Tangerang Selatan - Pemerintah menilai inklusi Indonesia masih tertinggal dari negara lain. "Salah satu indikator untuk menunjukkan ketertinggalan dalam hal tersebut adalah banyaknya penduduk Indonesia yang sudah punya rekening bank," kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution saat memberi keynote speech dalam acara Indonesia Fintech Festival and Conference di ICE BSD, Selasa, 30 Agustus 2016.
Karena itu, kata Darmin, pemerintah berupaya mempercepat pembangunan inklusi keuangan dengan membentuk arsitektur strategis nasional keuangan inklusi. Di dalam arsitektur itu, bakal ada lima pilar yang menopangnya. "Ini disiapkan pemerintah, BI, dan OJK."
Pilar pertama adalah edukasi keuangan yang akan dilakukan bersama-sama oleh ketiga lembaga. Pilar kedua adalah hak properti masyarakat, atau secara konkretnya adalah sertifikasi tanah rakyat. "Kami menyiapkan upaya besar-besaran sehingga seluruh tanah rakyat bisa cepat disertifikasi."
Baca: BI Targetkan Inklusi Keuangan Indonesia 90 Persen pada 2023
Pilar ketiga adalah fasilitas intermediasi dan saluran distribusi keuangan. Pilar ketiga ini digawangi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan di sini nantinya Financial Technology atau Fintech akan banyak berperan.
Pada pilar keempat ada layanan keuangan sektor pemerintah. Adapun pihak yang banyak berperan adalah pemerintah dan Bank Indonesia, terutama dalam mengembangkan instrumen untuk membayar subsidi dan bantuan sosial. Darmin mengungkapkan, hal ini akan diatur dengan baik agar satu kartu bisa dipakai untuk mengakses berbagai hal.
Kemudian, pilar terakhir adalah perlindungan konsumen yang merupakan tanggung jawab pemerintah, BI, dan OJK. Darmin melanjutkan, sebenarnya tema besar dalam Fintech adalah inklusi keuangan.
Darmin menyebut, akan terlihat posisi Indonesia yang masih tertinggal dalam hal inklusi keuangan. Bahkan dia mengatakan, pada 2014, hanya 36 persen dari penduduk Indonesia yang mendapatkan layanan perbankan.
DIKO OKTARA