TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Anhari Achadi, menilai menaikkan harga rokok bisa berdampak mencegah munculnya perokok pemula dan orang yang kurang mampu merokok.
Selain itu, merokok dari segi kesehatan akan menimbulkan berbagai penyakit, salah satunya jantung. “Yang kita tuju bukan sekarang, melainkan masa yang akan datang,” ujarnya di Jakarta, Sabtu, 27 Agustus 2016.
Pernyataan Anhari tersebut didasari wacana kenaikan harga rokok yang bisa mencapai Rp 50 ribu per bungkus. Ia sepakat harga rokok dinaikkan. Sebab, dampak positifnya akan terlihat dalam 30-40 tahun ke depan, yakni terciptanya generasi sehat.
Wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus mencuat dari hasil penelitian Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany. Ia menyurvei seribu responden.
Penelitian itu menghasilkan kesimpulan 82 persen responden setuju harga rokok dinaikkan. Bahkan 72 persen responden sepakat harga dinaikkan menjadi di atas Rp 50 ribu. Salah satu tujuannya, mencegah pelajar menjadi perokok.
Anhari menuturkan Indonesia memiliki bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibanding usia nonproduktif. Dengan demikian, generasi saat ini akan mencapai puncak keemasan pada waktu 30 tahun ke depan. Apabila generasi sekarang sudah mengurangi konsumsi rokok, ada harapan besar terhadap kesehatan penduduk masa yang akan datang.
Anhari menuturkan banyak hasil penelitian yang menyebutkan bayi dalam kandungan yang terpapar rokok akan terganggu pertumbuhan kecerdasannya. “Inteligensi matematikanya kurang,” katanya.
Menurut Anhari, langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah menaikkan harga rokok. Ia menyadari perokok aktif akan sulit menghilangkan adiksi dari kandungan rokok. Namun ia berkeyakinan, dengan menaikkan harga rokok, perokok pemula akan mulai berhenti, terutama bagi kalangan pelajar.
DANANG FIRMANTO