TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pengusaha Rokok Indonesia Hasan Aony mengatakan wacana kenaikan harga rokok hanya akan menyuburkan peredaran rokok dengan cukai palsu atau rokok ilegal. "Kalau harga legalnya Rp 50 ribu, orang tidak akan membeli rokok legal," katanya saat dihubungi Tempo, Senin, 22 Agustus 2016.
Pernyataan Hasan merespons kajian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hasil kajian tersebut menyebutkan kemungkinan perokok akan berhenti merokok jika harga rokok dinaikkan dua kali lipat dari harga normal.
“Hasilnya 80 persen bukan perokok setuju jika harga rokok dinaikkan,” ujar Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Hasbullah Thabrany, pekan lalu. Hasbullah dan rekan-rekannya melakukan survei terhadap seribu orang.
Lebih jauh, Hasan menyatakan, harga rokok legal sebesar Rp 50 ribu per bungkus malah akan memicu orang mencari rokok ilegal. Dalam beberapa kasus, kata dia, jika harga rokok ditetapkan di atas kemampuan daya beli, orang akan mencari jalan lain untuk mendapatkan rokok sesuai dengan kemampuan daya belinya. "Orang akan cenderung mencari harga lain yang lebih murah, tentunya dengan cara ilegal," tuturnya.
Hasan menuturkan, dengan adanya konsumsi rokok ilegal tersebut tentu akan menyebabkan kerugian bagi negara lantaran penerimaan negara dari industri rokok legal akan berkurang. "Tidak hanya itu, industri rokok juga akan rugi karena dipersaingkan dengan rokok ilegal. Sebab, konsumsi rokok legal turun tapi konsumsi rokok ilegal naik," ucapnya.
Selain itu, Hasan berpendapat, jika konsumsi rokok ilegal semakin bertambah, akan ada pekerjaan baru bagi pemerintah terutama dalam sektor pengawasan. Bahkan tujuan pencapaian kesehatan juga berpotensi tidak terlampaui mengingat rokok ilegal yang dikonsumsi akan semakin tinggi. "Apalagi rokok ilegal yang tidak melalui mekanisme kesehatan atau melalui BPOM kalau di Indonesia," katanya.
ABDUL AZIS