TEMPO.CO, Jakarta - Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jember memusnahkan barang bukti kasus uang palsu yang diklaim terbesar di Indonesia, Rabu, 3 Agustus 2016. Lebih dari 121 ribu lembar uang palsu pecahan Rp 100 ribu itu dimusnahkan dengan cara dibakar.
Deputi Kepala Perwakilan BI Jember, Ferry Tumpal D. Saribu, mengatakan uang palsu yang dimusnahkan merupakan temuan aparat pada 2015. "Ada 121.941 lembar uang palsu yang dimusnahkan," kata Ferry.
Ferry menuturkan peredaran uang palsu sebanyak itu dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Ferry puas karena majelis hakim Pengadilan Negeri Jember menjatuhkan vonis maksimal pada terdakwa pemalsu uang tersebut. "Pelaku utama dihukum 14 tahun, ada pun kaki tangannya 8 tahun penjara," kata Ferry.
Karena berhasil membongkar peredaran uang palsu terbesar di Indonesia, kata dia, BI Jember menjadi role model dalam penanganan perkara serupa. "Penurunan kasus upal sangat drastis," katanya.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jember Budi Hartono mengatakan pemusnahan barang bukti uang palsu dilakukan berdasarkan amanat Mahkamah Agung setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap. "Ini merupakan bentuk penyelesaian perkara, kami sebagai eksekutor telah melaksanakan putusan Mahkamah Agung mengeksekusi terpidana dan barang buktinya," kata Budi.
Perwakilan dari Kepolisian Resor Jember Komisaris Fahrur Rozi berujar bahwa dari kasus pengungkapan uang palsu yang pernah ditangani polisi, Jember yang terbesar. "Ini merupakan pemusnahan barang bukti kasus terbesar," katanya.
Sebelumnya, dua terdakwa uang palsu senilai Rp 12,2 miliar itu, yakni Abdul Karim dan Agus Sugiyoto, warga Jombang, Jawa Timur, dihukum 14 tahun penjara dengan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan penjara. Sedangkan dua terdakwa lainnya, yakni Aman, warga Sumatera Selatan dan Kasmari, dijatuhi hukuman 8 tahun penjara.
Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Perbuatan para terdakwa merusak perekonomian negara.
DAVID PRIYASIDHARTA