TEMPO.CO, Yogyakarta - Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan surat larangan beroperasi armada transportasi berbasis online, Go-Car. Larangan itu berlaku sejak awal Agustus 2016.
Surat edaran bernomor 557/2253 tersebut terbit pada 27 Juli 2016, atau sepekan setelah adanya pengaduan resmi dari Organisasi Angkutan Darat DIY dan paguyuban pengusaha taksi di Yogyakarta.
"Operasinya kami hentikan untuk mencegah konflik horizontal dengan pengemudi taksi reguler," kata Kepala Dinas Perhubungan DIY Sigit Haryanto, Senin, 1 Agustus 2016.
Namun Sigit menampik penghentian operasi Go-Car yang disinyalir berjumlah 100-200 unit di Yogyakarta itu karena pengaduan Organda. Ia menegaskan, masalah ini lebih diakibatkan layanan itu belum memenuhi ketentuan sebagai angkutan umum seperti diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Bermotor Umum tanpa Trayek.
Peraturan lain yang mengatur soal Go-Car ini juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Badan Hukum, terutama Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009. "Apabila tidak mematuhi ketentuan ini, kami tindak sesuai dengan peraturan perundangan berlaku," ujar Sigit.
Ketentuan itu mulai soal pelat nomor, uji kendaraan, surat izin operasi, hingga ketentuan tarif yang diatur surat keputusan pemerintah daerah. Sigit menambahkan, sebagai layanan berbasis aplikasi, Go-Car bisa saja beroperasi jika bekerja sama dengan layanan resmi.
Ketua Organda DIY Agus Andrianto menyatakan, Go-Car yang beroperasi di Yogyakarta dengan manajemen yang sama dengan layanan Go-Jek membuat penghasilan taksi reguler anjlok tajam. "Load factor penumpang kami selama tiga bulan terakhir turun rata-rata dari 65 menjadi 40 persen tiap harinya," tutur Agus.
Taksi reguler di Yogyakarta yang berjumlah 1.000 unit dan dikelola 20 operator itu dirugikan dengan keberadaan Go-Car tak lain karena persoalan perang tarif tak wajar. "Untuk soal tarif mereka hanya menggunakan satu indikator, yakni per kilometer jarak tempuh, sedangkan taksi reguler harus kena empat indikator perhitungan," ucap Agus.
Misalnya, saja penelusuran pihak Organda DIY, Go-Car hanya menetapkan tarif berdasarkan jauh-dekatnya jarak, seperti Rp 3.500 per kilometer. Padahal taksi reguler harus terikat ketentuan untuk menetapkan sejumlah tarif lain, seperti tarif flag fall (buka-tutup pintu), tarif tunggu, dan tarif minimal. "Dengan hitungan beban tarif seperti ini, kami jelas kalah," kata Agus.
Saat Tempo mendatangi kantor armada Go-Jek sekaligus Go-Car di kawasan Pingit, pihak keamanan menuturkan manajemen tengah berada di Jakarta dan tak bisa memberikan klarifikasi ihwal pelarangan Go-Car. "Belum ada surat apa pun yang dititipkan kepada kami soal Go-Car dari pemerintah terkait larangan itu," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO