TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Center/WTO) akan segera menyampaikan kesimpulan sementara dalam kasus kemasan rokok polos yang melibatkan Indonesia dan Australia.
"Interim report seharusnya keluar pada Juli atau September ini," kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Iman Pambagyo, Rabu 20 Juli 2016.
Imam menyatakan, kesimpulan sementara WTO tersebut bersifat rahasia dan hanya akan disampaikan pada pihak berperkara. Pada tahapan selanjutnya, Indonesia dan Australia akan sama-sama memberi tanggapan, sebelum panel WTO sampai pada putusan akhir.
Perkara ini bermula pada Maret 2014 saat Indonesia menggugat kebijakan kemasan rokok polos yang diadopsi Australia sejak 2013 lalu. Kebijakan pemerintah Australia itu dinilai telah melanggar perjanjian WTO Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) pasal 2.1, 15.4, 16.1, 16.3, 20, 22.2 (b), 24.3 di mana anggota WTO dilarang menerapkan persyaratan khusus yang mempersulit penggunaan merek dagang. Selain itu pada perjanjian Technical Barriers to Trade (TBT) pasal 2.2 disebutkan bahwa negara anggota WTO harus memastikan peraturan yang mereka terapkan tidak membatasi perdagangan secara berlebihan.
Bagi Indonesia, kebijakan ini dapat mengganggu kinerja ekspor dan perekonomian nasional. Sebab, rokok merupakan salah satu industri penting di negara ini. Setidaknya 6 juta orang terlibat dalam industri rokok, termasuk 3,5 juta petani tembakau dan cengkeh, 600 ribu pekerja pabrik dan 2 juta peritail. Industri rokok menyumbang 1,66 persen total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan devisa negara melalui ekspor ke dunia yang nilainya mencapai US$ 700 juta.
Toh bukan hanya Indonesia yang menggugat Australia. Selain Indonesia, negara penggugat lainnya adalah Honduras, Republik Dominika, dan Kuba.
Iman menyampaikan bahwa sebenarnya Indonesia tidak keberatan dengan upaya Australia mengurangi konsumsi rokok. Namun, pemerintah beranggapan kebijakan kewajiban penggunaan kemasan polos yang diterapkan oleh Australia berlebihan sehingga mencederai pemegang hak atas hak kekayaan intelektual (HKI) merek dagang untuk menggunakan haknya secara bebas.
"Kebijakan kemasan polos produk rokok yang diberlakukan Australia tidak terbukti menurunkan tingkat konsumsi rokok di kalangan anak muda dan pemula. Sebaliknya, kebijakan tersebut akan membuat persaingan tidak sehat dan mencederai hak atas kekayaan intelektual," kata Iman.
Iman juga mengkhawatirkan dampak tak langsung dari kebijakan ini. Sebab, saat ini beberapa negara telah berancang-ancang melakukan hal serupa terhadap produk lain, seperti susu formula, minyak nabati tertentu serta produk junk food yang kerap diasosiasikan sebagai penyebab diabetes dan obesitas. "Ini bisa jadi preseden buruk," katanya.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani menyatakan dukungannya. Dari kacamata bisnis, kata Shinta, branding itu mahal. Sementara kebijakan penerapan kemasan polos akan membuatnya sia-sia.
"Kalau ini sampai meluas, dari Australia ke negara lain dan produk lain, yang terkena dampaknya bukan hanya produsen produk itu tapi juga industri lain seperti agency desain periklanan juga akan lesu," ujarnya.
PINGIT ARIA