TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Cina untuk mengurangi kapasitas bajanya sebesar 45 juta ton pada tahun ini tidak akan berdampak signifikan tehadap pasokan baja dalam negeri karena jumlah tersebut masih kecil dibanding kapasitas terpasangnya.
Sebelumnya, Pemerintah Cina berencana untuk memangkas kapasitas produksi baja sebesar 45 juta ton pada tahun ini, bahkan pemerintah negeri itu berjanji akan memangkas kapasitas bajanya mencapai 50 juta ton-100 juta ton pada 3-5 tahun ke depan untuk memenuhi tuntutan perbaikan lingkungan.
Direktur Eksekutif Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Hidayat Triseputro mengatakan keputusan China tersebut tidak akan berpengaruh signifikan pada industri dalam negeri.
“Tergantung Cina mau jual sisanya dari 45 juta ton ke mana. Sebetulnya dengan kapasitas mereka yang masih besar sekali, itu belum signifikan. Sejauh yang saya tahu, ekspornya masih banyak di Asean dan masih membanjir,” katanya kepada Bisnis pekan lalu.
Menurut data dari asosiasi baja dunia atau worldsteel, produksi baja Cina pada 2015 mencapai 803,8 juta ton. Angka tersebut sudah mengalami penurunan sekitar 19 juta ton dibanding tahun sebelumnya.
Hingga saat ini Cina memproduksi hampir 50% dari produksi baja dunia. Adapun ekspor baja Cina mencapai 111,6 juta ton pada 2015.
Hidayat mengemukakan dampak pemangkasan kapasitas baja Cina baru akan terasa jika negara itu mengurangi ekspornya ke Asean terutama untuk produk hilir.
“Kalau mereka membanjiri impor finished product akan sangat mengganggu industri dalam negeri. Bila hulu silakan saja karena beberapa industri masih membutuhkan impor. Namun, khusus produk hilir tidak ada masalah,” ujarnya.
South East Iron & Steel Industry (SEAISI) menyebutkan Indonesia telah mengimpor sekitar 3 juta ton baja dalam bentuk rebar (baja kembangan).
Dalam catatan tersebut, produk rebar yang merupakan produk hilir menjadi produk yang paling banyak diimpor oleh negara Asean.
Dia mengatakan pemangkasan baja Cina kali ini tidak akan lantas memengaruhi kenaikan harga. Adapun pergerakan industri baja dalam negeri pada kuartal II masih menunggu realisasi penyerapan dari proyek pemerintah.
“Proyek pemerintah itu kan apapun belanjanya idealnya mengambil dari dalam negeri. Lalu kalau di hilir diganggu terus oleh produk impor, orang mau investasi di sini repot, jadi harus diamankan dulu pasarnya,” katanya.