TEMPO.CO, Jakarta -Seusai Britania Raya memutuskan keluar dari Uni Eropa (Brexit), industri keuangan menjadi sorotan utama sebagai sektor yang paling terdampak. Namun, tak kalah besar, dampak Brexit juga muncul pada sektor pariwisata.
Pasalnya, gejolak di industri pariwisata diprediksi akan memberikan dampak yang lebih luas dan langsung kepada kalangan masyarakat menengah dalam waktu dekat. Melemahnya nilai tukar pound sterling (GBP) diperkirakan menjadi faktor terbesar yang akan mempengaruhi aktivitas berwisata dari dan menuju Britania Raya.
Dalam penutupan perdagangan pada Jumat (8 Juli 2016), nilai tukar mata uang Negeri Ratu Elizabeth telah mencapai US$1,3 perpoundsterling. Nilai itu naik dari titik terendahnya
selama 31 tahun terakhir pada Rabu (6 Juli 2016) sebesar US$1,2798. Kondisi ini tentu saja memberikan dampak positif bagi industri pariwisata dalam negeri Britania Raya. Andrea Felsted, kolumnis di Bloomberg Gadfly mengatakan melemahnya GBP akan membantu menghidupkan kembali wisata belanja bebas pajak di negara tersebut.
“Ambil contoh Merlin Entertainment, pemilik tempat wisata Madame Tussauds dan London Eye. Penurunan pound sterling akibat Brexit akan meningkatkan jumlah kunjungan di wahana bermainnya setelah lesu sejak 2015,” katanya.
Senada, analis di Mainfirst John Guy memperkirakan, maraknya serangan teroris di sejumlah kota tujuan wisata di Eropa seperti Paris dan Brussels, akan membuat wisatawan mengalihkan destinasi ke kota yang lebih aman seperti London.
Turis China, menurut Guy, akan menjadi penyumbang terbesar aktivitas wisata di London dan beberapa kota lain di Britania Raya.
Dia memperkirakan, peritel di negara tersebut akan memperoleh kenaikan laba hingga 40% dari lonjakan wisatawan Negeri Panda.
“Penurunan 10% pada nilai tukar pound sterling akan meningkatkan laba kotor peritel di Britania Raya hingga 90 juta poundsterling,” ujarnya.
Situs penyedia jasa perjalanan terbesar di China yakni Ctrip.com pun berusaha menangkap ceruk keuntungan tersebut. Dalam lamannya, situs ini menawarkan iming-iming bahwa liburan musim panas ke Britania Raya akan menelan biaya sepertiga lebih murah dari tahun lalu.
Sementara itu Travelzoo memaparkan, berdasarkan data yang dihimpun sejak 24 Juni 2016, aktivitas pencarian informasi perjalanan dari AS ke Britania Raya telah melonjak 35,3%. Kalangan muda menempati porsi terbesar pencarian informasi perjalanan wisata tersebut.
Posisi Britania Raya yang belum secara resmi meninggalkan Uni Eropa meskipun sudah melakukan referendum, menurut CEO Wego Ross Veitch akan memberi dampak
positif bagi wisata di Wales, Irlandia Utara dan Inggris dalam waktu singkat. Pasalnya untuk sementara, para wisatawan dari Uni Eropa masih bisa menikmati perjalanan masuk Britania Raya tanpa visa.
“Biaya selama liburan seperti akomodasi, makan, hiburan, dan belanja akan menjadi menjadi lebih masuk akal jika dihitung dengan mata uang negara asal,” ujarnya.
Namun, Veitch mengingatkan dalam waktu dekat pemerintah Inggris harus segera mengubah regulasi penerbangan di sejumlah bandara. Hal ini menurutnya perlu dilakukan karena para wisatawan dari Eropa harus mengantre bersama penumpang internasional lainnya, karena Britania Raya tak akan lagi menikmati akses bebas visa dari sesama negeri Uni Eropa bila resmi keluar dari blok tersebut.
Dia juga melihat para pelaku bisnis wisata di negara tersebut secara bertahap akan mulai mengatur kembali kebijakan pariwisatanya. Biaya akomodasi menurutnya akan ditekan kembali agar daya tarik wisata di mata pengunjung Eropa tetap tinggi.
London diperkirakan harus bersaing dengan Paris, Frankfurt, dan Amsterdam dalam hal menyajikan kemudahan kepada wisatawan untuk menjelajah Eropa.
CEO British Airways Willie Walsh memprediksi, kenaikan aktivitas wisata menuju Inggris akan mendatangkan cuan yang besar bagi perusahaannya. Lonjakan keuntungan dari penumpang, akan membantu perusahaan keluar dari gejolak ketidakpastian yang terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Senada, pesaing British Airways yakni Ryanair juga memproyeksikan kenaikan keuntungan yang signifikan akibat Brexit. CEO Ryanair O'Leary bahkan berharap anjloknya pound sterling akan berlanjut selama 12 bulan mendatang. Saham British Airways telah naik 6,9% sejak referendum Brexit dihasilkan.
Serupa, Ryanair juga mencatatkan kenaikan harga saham hingga 3,5%.
WISATAWAN INGGRIS
Sementara itu, dampak sebaliknya justru akan melanda negara-negara yang selama ini menjadi tujuan wisata utama masyarakat Britania Raya. Rendahnya nilai tukar pound sterling akan membuat masyarakat Britania Raya menunda belanja dan aktivitas wisatanya di luar negeri.
Temple Bar, lokasi wisata favorit di Dublin, Irlandia diprediksi akan menjadi lokasi yang cukup terdampak akibat Brexit dan pelemahan GBP. Pasalnya, 40% pelanggan di kawasan tersebut merupakan wisatawan asal Britania Raya.
“Brexit adalah bencana bagi kami. Orang Inggris akan mengurangi aktivitas bersenang-senang mereka di tempat kami,” kata Gallagher, pemilik salah satu restoran terbesar di Dublin, Padraic Og.
Seperti diketahui, para wisatawan dari Britania Raya merupakan kelompok terbesar kedua wisatawan yang paling besar membelanjakan anggaran wisata mereka, di bawah Jerman. Total 39 miliar pound sterling dibelanjakan oleh mereka setiap tahunnya di beberapa negara lain seperti Spanyol, Perancis, Irlandia, Malta, Rumania, Siprus dan Lithuania.
Serupa, perusahaan penyedia jasa perjalanan dari Britania Raya ke luar negeri pun turut terdampak negatif. Salah satunya tercermin dari anjloknya saham perusahaan agen perjalanan Thomas Cook Group Plc. yang mencapai 15% sejak referendum.
Saham maskapai EasyJet Plc pun jatuh paling dalam selama 12 tahun pada awal bulan ini. Apa yang dialami oleh Gallagher di Irlandia telah menjadi cerminan bagi negara destinasi wisata utama masyarakat Inggris.
Josep Francesc Valls, dosen di ESADE Business School di Spanyol memprediksi, aktivitas wisata di Negeri Matador akan anjlok 5% pada tahun ini.
Di AS,menurut data National Travel and Tourism Office, kunjungan turis dari Britania Raya pada tahun lalu mencapai 4,9 juta pengunjung atau ketiga terbesar setelah Kanada dan Meksiko. Jumlah tersebut cukup besar, mengingat aktivitas kunjungan tersebut telah menyumbang sekitar 6,3% dari semua kedatangan internasional ke AS.
Tak ayal kondisi itu membuat para peritel besar Negeri Paman Sam seperti PVH Corp, Tiffany & Co dan Ralph Lauren Corp. dirundung kekhawatiran. Pasalnya,
penurunan kunjungan wisatawan Inggris akan berdampak pada pelemahan aktivitas belanja produk mereka. Pukulan itu akan memperberat langkah perusahaan tahun ini setelah belanja domestik masyarakat AS juga tereduksi.