TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Satu Keadilan (YSK) Sugeng Teguh Santoso curiga Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty (TA) merupakan pesanan pengemplang pajak. "UU TA patut diduga pesanan pengemplang pajak karena memberikan hak eksklusif bagi mereka," katanya di Cikini, Jakarta, Minggu, 10 Juli 2016.
Sugeng mengatakan Pasal 11 dan Pasal 21 UU TA memberikan hak eksklusif berupa pembebasan pengemplang pajak dari sanksi administratif dan pidana. Mereka juga mendapat pembebasan utang atas pajak yang selama ini tidak dibayarkan. Pengemplang pajak diberikan keistimewaan agar rahasia mereka dijaga.
"Ada sanksi pidana bagi siapa saja yang membocorkan data dan informasi orang yang mengikuti program TA," ujarnya. Sugeng mengatakan aturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 yang mengatur pengemplang pajak diberi sanksi. Aturan lain yang ditentang ialah Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.
Pasal tersebut menyebut informasi itu bukan yang dikecualikan, bahkan harus dibuka untuk kepentingan penegakan hukum, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Narkotik. Atas dugaan tersebut, Sugeng bersama Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) berencana mengajukan gugatan.
Gugatan Sugeng dan kawan-kawan berkaitan dengan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty (TA). Pengajuan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi akan dilayangkan saat UU TA berlaku mengikat. "Selambat-lambatnya gugatan akan diajukan pada 29 Juli 2016," ucapnya.
VINDRY FLORENTIN